17. Kepulangan Aurel

6.4K 508 37
                                    

Turut berdukacita untuk aku yang hati kecil dan tindakannya tidak sinkron karena terlalu berpegang pada harapan dan menutup mata pada kenyataan.
-Jasiyah

***

Sang surya telah pulang keperaduannya. Tenggelam diantara awan-awan. Menyisakan senja sebagai ucapan 'sampai jumpa esok hari'. Senja hanya mampu bertahan beberapa menit, dia tidak bisa bertahan lebih lama dengan langit. Karena senja tahu bahwa malam hari milik bintang. Walau senja lebih indah dari bintang, tetap saja senja harus tahu diri bahwa langit bukan miliknya.

Sama halnya seperti Jasiyah, ia harusnya lebih tahu diri. Bahwa dirinya hanya sebatas 'pembantu' Nisfal sekalipun ia istrinya. Nisfal memang suaminya, tapi bukan berarti hati dia untuk Jasiyah. Karena, mereka menikah pun bukan berdasarkan cinta melainkan tanggung jawab. Sudah cukup Jasiyah membebani ini dengan tanggung jawab, jadi ia tidak perlu menuntut agar Nisfal bisa mencintainya. Sebab, ada seseorang yang lebih pantas untuk Nisfal cintai yaitu Aurel, istri kesayangan Nisfal.

Air mata Jasiyah membasahi cadar yang dikenakannya. Dadanya sesak, menahan agar air mata itu tidak turun. Tapi tetap saja, air mata itu menerobos menjadikan saksi bahwa Jasiyah sedang tidak baik-baik saja.

Rutinitas setiap sore adalah menyiram tanaman ditaman belakang. Jasiyah yang kebetulan sedang berjongkok memperhatikan kupu-kupu yang hinggap di tangkai bunga mawar dipanggil oleh Nisfal. Alis Jasiyah bertautan, tumben sekali masih sore sudah pulang dari kantor. Tak lama sebelum Jasiyah beranjak, Nisfal sudah berada disamping Jasiyah yang ikut jongkok.

"Ganti baju sekarang." Titah Nisfal. Tunggu, mengapa nada bicaranya berbeda? Tidak seperti biasanya Nisfal bicara dengan lembut.

Untuk memastikan yang disamping Jasiyah itu Nisfal atau bukan, ia menoleh. Ternyata benar, yang bicara barusan adalah Nisfal. Baru pertama kali ia mendengar suara Nisfal selembut itu, membuat hati Jasiyah meleleh.

"Lho, ada apa Tuan? Pekerjaan saya belum selesai."

"Tidak usah diselesaikan. Sekarang kamu ganti baju, saya ingin mengajak kamu ke suatu tempat."

Jasiyah mencerna setiap perkataan Nisfal. Hatinya berdebar bukan main, ia ingin berteriak sekeras mungkin. Kapan lagi diajak jalan oleh Nisfal? Pikir Jasiyah.

"Sekarang?" Tanya Jasiyah memastikan. Nisfal pun mengangguk.

"Baik Tuan, saya permisi."

Setelah mengganti pakaiannya dengan serba hitam. Jasiyah ke ruang utama yang sudah terdapat Nisfal sedang duduk di sofa sambil memainkan ponsel. Nisfal menoleh, lalu berdiri dan meraih kunci mobilnya. Yang membuat Jasiyah lemas, Nisfal memegang tangan Jasiyah lalu digenggamnya. Bukannya ikut jalan, Jasiyah malah diam ditempat saking senang atau apa.

"Ayo" kata Nisfal menoleh kebelakang. Jasiyah mengangguk, tidak berkata apapun.

Tepat turun dari mobil, adzan magrib berkumandang. Jasiyah menyapu pandangannya, lampu-lampu warna-warni menghias parkiran Mall. Entah kebetulan atau bagaimana, diparkiran itu ada pasar malam dengan berbagai macam wahana dan makanan.

"Tuan, saya izin salat. Waktu magrib sudah tiba."

"Mau saya antar?"

"Ah tidak usah, biar saya cari sendiri. Atau Tuan mau ikut..?" Jasiyah memelankan suaranya.

"Tidak. Biar saya tunggu disini saja."

"Baiklah."

Tak perlu memakai mukena, hijab Jasiyah sudah menutupi tangan. Jadi ia tinggal menunaikan salat lalu kembali pada Nisfal.

10 menit berlalu, kini Jasiyah sudah bersama dengan Nisfal. Tak membuang waktu, Nisfal mengajak Jasiyah untuk ke pasar malam itu. Katanya, Nisfal ingin naik wahana kora-kora. Sebenarnya Jasiyah takut, tapi ia paksakan agar tidak merusak suasana.

Dengan erat, Jasiyah memegang tangan Nisfal. Tidak peduli bagaimana reaksi Nisfal, yang penting bisa mengurangi ketakutannya.

Selama wahana itu berjalan, Jasiyah mengucap lafadz syahadat berkali-kali seraya memejamkan mata.

"Kamu ngapain baca syahadat?" Tanya Nisfal sedikit teriak.

"Saya takut meninggal..." lirih Jasiyah yang terus memegang tangan Nisfal.

Nisfal senyum tipis. "Ada-ada saja."

***

Tepat pukul 8 malam, Jasiyah dan Nisfal berada di Bandara Soekarno Hatta untuk menjemput kepulangan Aurel. Euforia yang tadi, kini hilang begitu saja. Melihat pria yang baru Jasiyah cintai, dihadapannya sedang bermesraan dengan istri sesungguhnya. Ingin sekali ia meninggalkan tempat ini, jika tahu Nisfal akan menjemput Aurel lebih baik ia bergulat dengan tanamannya.

Rasanya seperti dihempaskan ke dasar laut. Tidak sakit namun mematikan.

Jasiyah duduk, menatap kosong sepatu yang ia kenakan. Membiarkan dua insan yang sedang melepas rindu. Tapi tiba-tiba Aurel menepuk punggung Jasiyah. Ia pun menoleh.

"Ya ada apa Nyonya?"

"Tolong bawakan koper dan tas saya, badan saya capek."

Duar!

Bak disambar petir disiang hari. Sesak, dada Jasiyah seperti dihantam benda tumpul yang sangat besar. Jadi, tujuan Nisfal mengajak keluar Jasiyah untuk ini? Membawakan semua barang-barang Aurel?

Ah Jasiyah lupa, bahwa ia hanya sebatas pembantu sampai kapanpun.

Jasiyah tersenyum kecut dibalik cadarnya. Lengkap sudah penderitaan Jasiyah.

"Oh ya, nanti kamu pulang naik taksi. Saya tidak mau kamu mengganggu kenyamanan saya dengan suami saya."

Ia hanya bisa tersenyum dan mengangguk. Pasrahkan semua pada Allah. Langitkan doa, karena Allah itu Maha Kaya. Jika memang Nisfal berjodoh dengannya sejauh dan sebesar apapun cobaannya pasti tetap selalu bersama.

Tak lama, Nisfal menghampiri Jasiyah dan Aurel. Ia merangkul Aurel dengan mesra. "Ah ya, yang tadi itu sebagai ucapan terima kasih saya sudah mau membawakan barang-barang istri saya. Jadi jangan terbawa perasaan."

Setelah mengucapkan seperti itu, Nisfal dan Aurel meninggalkan Jasiyah dengan sejuta kepedihan.

Sebelum benar-benar pergi, Aurel menoleh. "Hati-hati, pelacur bertopeng syariah."

Runtuh sudah pertahanannya agar tidak menangis. Entah apa yang merasuki Jasiyah, selama tinggal di Jakarta ia menjadi wanita yang cengeng. Tidak sekuat dulu lagi. Jasiyah benci dengan dirinya yang cepat menangis. Apa itu karena hormon ibu hamil sedang naik?

Tangan yang dibaluti handshock mengusap perutnya yang sedikit membuncit. Ada makhluk didalam perutnya yang perlu dijaga.

"Kamu baik-baik ya, Nak."

***

Alhamdulillah... akhirnya update juga. Maaf ya baru up setelah sekian lama. Semoga kalian bisa setia baca cerita ini sampe tamat hehe

Makasih yang udah mau nunggu😙

Dibalik Doa Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang