14. Sebuah Ruang

6.5K 476 60
                                    

Rasa penasaran itu menyebalkan. Seperti beban yang tak berkesudahan.

***

Dikala sore, Jasiyah sedang menyiram bunga mawar yang warnanya bermacam-macam di taman belakang. Ia menikmati kegiatannya itu dengan senandung shalawat ditambah angin sore yang berhilir membuat sore semakin tentram. Taman belakang yang dihiasi bunga-bunga disamping kolam ikan adalah pemandangan yang cukup indah dilihat. Berbeda dengan belakang rumah Jasiyah yang hanya hamparan sawah luas dengan burung-burung menghiasi langit namun tak kalah indah. Justru ia sangat merindukan pemandangan itu.

Pandangan Jasiyah berhenti di bunga mawar yang berwarna merah. Ia mengingat perkataan dari almarhum ayahnya.

Wanita itu bukan seperti bunga. Yang tumbuh dipinggiran jalan, dipetik sesukanya lalu dibuang begitu saja.

Wanita itu bukan seperti bunga. Yang kecantikannya hanya untuk menggoda.

Wanita itu bukan seperti bunga. Yang sejatinya layu dimakan waktu. Wanita tidak akan begitu jika imannya terisi penuh.

Ia tersenyum bangga dibalik cadar maroonnya, romantis sekali ayahnya itu. Tidak sekalipun beliau berkata kasar kepada anak-anaknya. Tidak sekalipun beliau mengecewakan. Ah, Jasiyah rindu sosok cinta pertamanya.

Jasiyah ingin memiliki suami yang perlakuannya seperti ayahnya. Agar rumah tangga mereka seperti madu. Sudah manis, lengket pula. Tapi ia tidak mau banyak berharap pada manusia, ujungnya pasti sakit. Jasiyah hanya bisa berdoa dan berusaha. Hanya Allah yang tidak pernah mengecewakan.

"Jasiyah?" Sapa seorang wanita berkhimar merah muda.

Jasiyah menoleh. "Iya, Tante?"

"Boleh bicara sebentar?"

Wanita bercadar itu terlihat kebingungan. Ia melihat tanaman-tanaman yang sedikit lagi belum disiram. "Tapi ini?" Ucapnya seraya menunjuk.

"Nggak apa-apa, mereka kuat kok. Kayak kamu." Kata Wawa seraya menarik pergelangan Jasiyah.

Jasiyah tersenyum kaku dan menganggukkan kepalanya. Ia pun menaruh selang ditempat semula.

Wawa dan Jasiyah berada di gazebo. Jasiyah mengayun-ayunkan kakinya, gamis hitam yang dikenakn sedikit basah akibat cipratan air ketika ia menyiram tanaman. Ia menunggu Wawa yang sedang memainkan ponsel, entah apa yang dilihatnya. Tapi Jasiyah di suruh menunggu saja.

Beberapa menit kemudian, Wawa menunjukan sesuatu dari ponselnya. Jasiyah melongo ketika mendengar apa yang dikatakan Wawa itu. Yang benar saja, Jasiyah yang sebagai calon ibunya saja belum kepikiran sampai sejauh itu.

"Jadi kamu mau konsep apa untuk kamar calon anakmu?" Tanya Wawa seraya menaruh ponselnya disamping tubuh.

Jasiyah terdiam sebentar.

"Jasiyah?" Hingga suara mampu membuyarkan entah apa yang ada dipikirannya.

"Ah maaf Tante. Saya belum kepikiran tentang hal itu bahkan tidak kepikiran sama sekali. Menurut saya, tidak usah terlalu berlebihan. Yang biasa-biasa saja dan yang terpenting anak ini sehat terus." Ucap Jasiyah yang merasa kaku ketika menyebut 'anak ini'.

Dibalik Doa Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang