28. Isi Sebuah Ruang

6.9K 557 150
                                    

Kepercayaan itu bagai mutiara di dasar laut. Mahal harganya dan sukar di dapat.

***

Pertama kalinya Jasiyah mengantarkan makan siang ke kantor Nisfal. Pertama kalinya juga ia menginjakkan kaki ke tempat kerja Nisfal. Jasiyah tentu tidak sendiri, ia di antar supir rumah yang telah disediakan.

Jasiyah bertanya pada resepsionis yang tengah tersenyum manis. Jasiyah menanyakan dimana ruangan Nisfal. Wanita yang memakai kemeja putih serta rompi abu itu menunjukan dengan telaten. Jasiyah pun mengangguk paham dan berterimakasih.

Lift menunjukan lantai 3. Senyum yang di bibir Jasiyah tidak pernah luntur. Membayangkan senyum tipis ala Nisfal serta ucapan kakunya yang mempunyai ciri khas itu.

Tepat depan pintu kaca, ia mengetuk dan mendorong. Ternyata suasana di luar ekspetasi Jasiyah. Jasiyah membayangkan senyum tipis Nisfal untuk menunggu kedatangannya, namun suaminya itu tengah berpelukan dengan Aurel. Jadi, selama ini mereka masih berkomunikasi?

Jasiyah tersenyum kecut dibalik cadar hitamnya. Ternyata Nisfal masih sangat mencintai Aurel. Ia kira rasa itu sudah pudar dari wanita berambut pirang. Nyatanya? Justru semakin menjadi. Ketika Jasiyah hendak melangkahkan kakinya untuk pergi meninggalkan dua insan yang tengah memecahkan rasa rindu, tangan yang dibaluti handstock itu di cekat. Hingga dirinya terbawa dan berada pada tepat dihadapan wajah pria yang sedang ia cemburui itu.

Mata Jasiyah terbelalak. Sangat terkejut dan begitu terkejut.

"Maaf sudah mengganggu suasana." Ucap Jasiyah seraya berusaha melepaskan cekatan itu.

"Mungkin kalimat 'nanti saya jelaskan' itu basi. Namun memang kalimat itu yang akan saya ucapkan."

Jasiyah tersenyum manis dibalik cadar. Lalu tangannya berhasil dilepaskan. "Tidak apa-apa, Tuan. Saya mengerti."

"Ah iya, ini makan siang untuk Tuan. Semoga suka, ya?" Lanjut Jasiyah seraya menyondorkan totebag berwarna pink.

Belum sempat totebag itu sampai di genggaman Nisfal, namun sudah berantakan hingga isinya keluar. Jasiyah menahan napasnya untuk menahan rasa sakitnya.

"Nisfal tidak pantas memakan makanan yang dibuat dari orang penyakitan."

Air bening yang jatuh pada pipi Jasiyah mewakili seluruh perasaannya. Entah mengapa, ia menjadi sensitif ketika ada yang membahas perihal penyakit. Jasiyah tidak marah, ia hanya sedikit gagal menjadi manusia yang bermanfaat. Dengan adanya sakit itu, kegiatan yang biasa dilakukan olehnya menjadi sedikit. Dengan adanya sakit, menghafal Quran pun Jasiyah semakin sedikit karena konsentrasi yang menurun.

"Saya menyesal telah memberimu kesempatan untuk memeluk tubuh saya." Ujar Nisfal dengan tegas.

"Lho, bukannya kamu yang menyuruh aku kemari?"

"Ya itu benar. Tapi untuk menyampaikan surat pengadilan ini bukan untuk memberi kesempatan sekali lagi." Seru Nisfal seraya menyondorkan amplop berwarna putih.

Mata Jasiyah dan Aurel terbelalak bersamaan.

"Kenapa harus aku yang kamu buang? Kenapa bukan wanita murah ini?!"

Nisfal tertawa singkat.

"Kenapa kamu tanya? Coba saja tanyakan pada dirimu sendiri. Kamu seorang istri tapi tidak pernah melayani suami. Jiwa keistrian itu tidak melekat di tubuh kamu. Berbeda dengan Jasiyah. Jujur, baru beberapa minggu dia resmi menjadi istri saya. Saya merasa ada yang memperhatikan, sejak dia membuatkan sup tengah malam saya sangat senang karena ada yang mau melayani saya kapanpun. Bukan kamu yang cuma tengah malam berada di club melayani kepuasan orang lain."

Dibalik Doa Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang