40. Tawa Seorang Ninja

4.3K 466 152
                                    

Madupun kalah dengan manisnya suara tawamu.

***

Ketika Nisfal tahu mengapa Jasiyah tak bangun dari sujudnya, ia ingin sekali meneriaki dan mencaci wanita yang sedang dipangkuannya.

Jasiyah tertidur.

Nisfal lupa jika ada obat tidurnya yang Jasiyah minum. Bodoh sekali dirinya. Nisfal juga penasaran, mengapa Jasiyah tidak bisa menahan rasa kantuknya. Semengantuk itukah sampai-sampai ia tertidur dalam sujudnya? Ah, biarkan saja. Lebih baik tertidur dari pada lebih dari tidur. Pahamkan maksudnya?

Nisfal mengusap kening serta alis Jasiyah dengan perlahan. Wanita itu belum bangun juga dari tidurnya. Melihat wajah damai Jasiyah, Nisfal yang tadinya ingin marah pun hilang seketika. Ia hanya bisa tertawa pelan seraya menggeleng-geleng. Baginya, pengalaman ini adalah hal yang paling langka. Tertidur dalam shalat.

"Lelah banget nahan sakit, ya?" Tanya Nisfal pada Jasiyah seraya memainkan pipi tirusnya.

"Saya hampir mati lihat kamu nggak bangun-bangun. Paling bisa buat saya panik ya cuma kamu, Nyonya."

Perlahan, bola mata cokelat Jasiyah mulai terlihat. Sang empunya sudah membuka mata dengan sempurna, lalu kedua alisnya bertautan. Mengapa dirinya ada di pangkuan Nisfal?

"Saya tertidur, Tuan?" Tanya Jasiyah seraya bangun dari pangkuan Nisfal.

Pria itu memasang wajah datarnya. Sedangkan Jasiyah yang duduk dihadapan Nisfal memasang wajah bingung. Mata Jasiyah memperhatikan apa yang sedang ia kenakan, ternyata mukena masih melekat di tubuhnya. Tandanya, ia tertidur dalam keadaan shalat?

Tawa Jasiyah pecah.

Jasiyah menertawai kebodohan yang hakikinya. Bisa-bisanya ia shalat hingga tertidur. Jasiyah benar-benar tertawa terbahak hingga melupakan Nisfal yang mengkhawatirkannya. Wanita itupun mengusap sedikit air mata yang keluar dari sudut matanya.

"Enak kamu tidur, saya panik hingga mau mati, Jasi." Ujar Nisfal.

Jasiyah berhenti tertawa. "Tuan kira saya mati, ya?"

Mendengar penuturan Jasiyah, Nisfal langsung membelalakan matanya. "Jangan bicara seperti itu."

"Maafkan saya, Tuan. Saya juga tidak tahu kalau tertidur. Maaf membuat khawatir." Seru Jasiyah seraya mencium pipi Nisfal sekilas.

Deg.

Seperti ada sengatan listrik. Rasanya membuat sekujur tubuh kaku. Kedua kalinya, Jasiyah mencium pipi Nisfal tanpa ia pinta. Bahagia yang sangat luar biasa.

***

Permintaan Jasiyah tadi malam akhirnya terpenuhi oleh dokter pagi ini, walaupun dengan berat hati dokter mengizinkan, namun tak ada salahnya jika Jasiyah di izinkan pulang. Toh, keadaan Jasiyah mulai membaik, jadi dokter memberi kesempatan kepada Jasiyah untuk menghirup udara di rumahnya. Senyum Jasiyah tidak pernah luntur dari bibirnya. Rasanya senang sekali bisa pulang ke rumah dan senang sekali bisa di dampingi oleh kekasih hatinya, Nisfal yang sedang fokus menyetir.

Jasiyah menggandeng tangan kiri Nisfal dengan erat. Ia sudah tak canggung lagi pada Nisfal, sebab Jasiyah tidak mau menyia-nyiakan orang yang ia sayang. Sesekali Nisfal mengecup pucuk kepada Jasiyah lalu mengusapnya.

"Apa ini awal kebahagiaan kita, Tuan?"

"Insyaallah. Semoga Allah merestui, ya?"

"Aamiin... ah ya, Mbak Aurel apa kabar? Sudah lama saya tidak melihatnya. Jenguk beliau ya, Tuan? Saya mau minta maaf."

"Minta maaf?"

Jasiyah mengangguk. "Iya, Tuan tidak tahu rasanya berbagi suami. Rasanya sakit, sangat sakit. Pasti kedua wanitanya merasakan kesakitan itu, Tuan. Saya dan Mbak Aurel merasakan. Dan saya sangat bersalah, dengan kedatangan saya membuat kalian hancur. Maafkan saya, Tuan."

"Kamu tidak salah. Ini sudah jalan Allah. Dulu saya minta sama Allah agar diberi istri shaliha, kini saatnya saya menikmati apa yang di beri oleh Allah untuk saya, yaitu kamu. Kamu adalah pemberian Tuhan yang seutuhnya, buktinya, biarpun keadaan memisahkan kita, tapi kita dipersatukan kembali."

Damai hati Jasiyah mendengarnya. Ternyata, Nisfal dulu sangat berbeda dengan yang sekarang. Penuturannya lembut, menyejukan hati. Akting Nisfal patut di acungi jempol, Jasiyah masih tak habis pikir jika semua yang Nisfal lakukan adalah sandiwara. Namun, Jasiyah bersyukur, sebab Tuannya masih ada rasa bahwa ia adalah seorang hamba.

Mobil putih Nisfal berhenti di pekarangan rumah mewahnya. Ia turun dari mobil dengan tergesa untuk membukakan pintu Jasiyah. Jasiyah pun turun dari mobil seraya mengucapkan terima kasih pada Nisfal. Pria yang memakai kaus polos berwarna hitam itu menggenggam erat tangan Jasiyah, ia mengiringi jalan Jasiyah menuju rumah.

Nisfal langsung membuka pintu rumah yang berwarna putih seraya mengucapkan salam.

Wawa dan Rifa yang tengah bersiap ke rumah sakit membelalakan matanya. Memang, Jasiyah pulang tanpa memberitahu orang rumah. Ia ingin memberi sedikit rasa bahagia kepada orang sekitarnya, sebab akhir-akhir ini ia sering membuat kesusahan dan khawatir.

Wawa langsung menghampiri Jasiyah dengan memutar-mutarkan tubuhnya. "Lho lho lho... kok kamu pulang?" Tanya Wawa dengan serius.

"Saya tidak boleh pulang, ya?"

"Bukan gitu, maksud Tante, kenapa kamu udah pulang? Emangnya dokter udah izinin kamu? Atau kamu maksa, ya?" Cerocos Wawa pada Jasiyah.

Jasiyah menyengir dibalik cadarnya. "Sedikit...."

Pandangan Wawa beralih pada Nisfal. "Ini gimana, lho? Kok kamu nggak nahan Jasi? Kalau ada apa-apa gimana, Ipal...?"

"Tante tenang, dokter sudah beri arahan dan katanya Jasiyah sudah jauh lebih baik dari hari-hari sebelumnya."

Wanita berhijab hijau botol itu menghela napasnya panjang. Mendengar kata 'jauh lebih baik' saja membuat hati Wawa tentram dan damai.

"Alhamdulillah... yaudah, mending kamu langsung ke kamar istirahat yang cukup. Jangan beres-beres rumah atau melakukan hal yang bikin kamu capek. Biasanya kamu kalau di rumah nggak bisa diem." Perintah Wawa seraya membenarkan hijab Jasiyah yang sedikit berantakan akibat ia memutar-mutar tubuh Jasiyah.

"Siap, komandan!" Seru Jasiyah seraya hormat.

Nisfal, Wawa dan Rifa tertawa.

"Kalau gitu Tante mau keluar dulu sama Rifa. Ipal jagain Jasi yang bener!"

Beginilah Wawa. Jiwa bawel yang pernah melekat pada Aura dulu, kini melekat pada Wawa. Seakan-akan, Aura yang belum kehilangan Afkanya masih ada bersama Nisfal dan keluarga. Seandainya, Afka masih ada mungkin Nisfal akan merasakan kasih sayang orang tua seutuhnya. Merasakan bagaimana di didik ayah dan ibu. Sama seperti Jasiyah, ia hanya merasakan kasih sayang dari orang tuanya hanya sebentar. Namun, ia tumbuh menjadi wanita kuat dan shaliha. Keduanya tumbuh menjadi orang hebat. Orang hebat yaitu orang yang mampu mengikhlaskan apa yang terjadi, merelakan apa yang telah pergi, dan mendoa agar lebih baik lagi. Karena doa adalah senjatanya orang beriman.

Berdoalah tanpa meragukan apa yang di pinta, sebab Allah Maha Kaya. Jangan ragu, berdoalah dengan menggebu.

***

END








TAPIIII BOONG WKWKWK

Jasiyah udah pulang, tuh. Nggak mau ngejenguk? 😌

Dibalik Doa Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang