Menahan takdir kedatanganmu bukanlah kuasaku
-Jasiyah***
Fa bi'ayyi aalaaa'i robbikumaa tukazzibaan.
Begitu ayat selesai dibacakan detik itu juga air mata Jasiyah luruh. Isak tangisannya mengisi malam yang sepi. Sejak dulu, ia mendambakan surah Ar-Rahman yang menjadi mahar, tak perlu yang mewah-mewah, tak perlu mahal-mahal. Hanya 78 ayat Ar-Rahman saja sudah lebih dari cukup. Dengan suara yang syahdu, lembut, menenangkan hati pelengkap imannya membacakan surah tersebut sebelum akad.
Masyaallah...
Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?
Tak ada tandingnya.
Tak ada duanya.
Andai dulu ia tak menggantikan Jidahnya untuk bekerja. Andai dulu ia tak datang ke kota Jakarta. Andai... ia menikah dengan Adam, pasti ia akan meminta mahar surah Ar-Rahman. Bicara tentang Adam, apa kabar dirinya? Pasti dia sangat kecewa dengan kelakuan Jasiyah yang sangat memalukan. Pasti ia menyesal sudah membuang waktunya demi bertemu keluarga Jasiyah.
Tepat jam 2 dini hari, seperti bunyi piring jatuh sangat terdengar jelas di pendengaran Jasiyah karena letak kamarnya dari dapur lumayan dekat. Dengan tergesa Jasiyah yang masih menggunakan mukena mengambil niqab yang ada disisi tempat tidur lalu memakainya. Dibuka pintu kamarnya dan berjalan menuju dapur.
"Ada yang bisa saya bantu, Tuan?" Tanya Jasiyah.
Pria yang membelakangi Jasiyah berbalik lalu memberikan sebutir telur dan sebungkus mie instan. "Tolong buatkan, saya lapar."
Jasiyah menerima tapi kepalanya menggeleng berkali-kali. "Makan mie instan tengah malam begini tidak baik, biar saya buatkan sup." Katanya seraya menaruh telur dan mie tersebut kedalam kulkas dan menggantinya dengan beberapa macam sayuran dan daging ayam.
"Sebenarnya makan tengah malam tidak baik, tapi sepertinya memakan sup jauh lebih baik." Sambung Jasiyah.
Nisfal, yang sedari tadi mendengarkan dan memperhatikan setiap gerak-gerik Jasiyah hanya diam. Tak menyangka bahwa wanita yang ada dihadapannya ini adalah istrinya. Istri yang dianggap pembantu olehnya. Kamar pun mereka tak bersatu, Nisfal dilantai 2 sedangkan Jasiyah dilantai dasar lebih tepatnya kamar pembantu yang Jasiyah tempati.
Ingin sekali rasanya Nisfal bertanya mengapa Jasiyah belum tidur tapi seperti ada cekat yang menghalangi ucapan itu keluar dari mulutnya. Sulit.
Beberapa menit kemudian aroma sup mulai menyeruak membuat perut Nisfal tambah keroncongan meminta untuk diisi. Jasiyah menaruh sup itu tepat dihadapan Nisfal. Setelah itu Jasiyah menuangkan air putih kedalam gelas dan pamit untuk kembali ke kamar. Namun, tangannya yang tertutup mukenah itu dicekat membuat sang empu refleks menghentikan langkahnya.
"Duduk saja disitu, biar tidak bulak-balik membereskannya." Ucap Nisfal tanpa memandang Jasiyah.
Jasiyah tak membantah, toh Nisfal ini suaminya, bukan? Walau pun Nisfal tak menganggap dirinya sebagai istri tetapi Jasiyah tetap menganggap Nisfal sebagai suaminya. Sedikit menyakitkan, tapi Jasiyah tak bisa berbuat apa-apa selain berdoa.
Karena, doa itu ibarat tali yang bisa mengeratkan hati. Ibarat pelukan yang menenangkan jiwa. Doa juga ibarat sepasang sayap yang menghantarkan qalam-qalam indah ke Surga. Dengan mendoakan seseorang, berarti selalu mengingatkan dalam kebaikan. Dengan mendoakan seseorang, berarti kita menganugerahkan kebahagiaan dengan asma-Nya. Dibalik doa, selalu ada hal yang mengejutkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dibalik Doa
SpiritualAda seuntai doa yang tak pernah lupa dipanjatkan. Dibalik doa, Jasiyah selalu selipkan nama seseorang agar segera dapat hidayah. Rasanya miris sekali melihat atasannya hidup tak tentu arah seolah terjebak dalam dunia yang fana. Jasiyah ingin menolon...