29. Sepatah Kata

6.4K 498 49
                                    

"Saya kuat ya, Tuan? Saya kuat kalau calon buah hati saya sudah tidak ada dikandungan lagi. Saya ikhlas'kan, Tuan?" Racau Jasiyah seraya mengeluarkan air mata.

Cadar warna hitamnya sedikit membasah karena air mata yang keluar dengan deras. Padahal sudah tiga hari yang lalu Jasiyah melakukan aborsi. Jabang bayi itu penuh dengan air mata sang ibu. Ia datang membuat jatuhnya air mata ia pergi membuat pilunya hati.

Nisfal yang sedang duduk disampingnya merasa iba. Ia tidak tega melihat wanita ninjanya menangis. Menit berikut, Nisfal beranjak lalu mengambil kunci mobil dan dompet diatas meja rias yang dulu milik Aurel kini milik Jasiyah. Setelah itu ia berdiri dihadapan sang istri lalu menekuk lututnya untuk mensejajarkan tubuh.

"Iya, kamu kuat. Allah Maha Baik, Allah masih memberi waktu kita untuk pacaran lebih lama makanya Allah ambil dia dan akan menggantikan lima anak sekaligus?" Tutur Nisfal yang diakhiri kekehan.

Mata cokelat Jasiyah sontak melebar. Sekaligus lima? Ayolah Nisfal, yang benar saja. Satu anak saja melahirkannya antara hidup dan mati, bagaimana langsung lima? Bisa-bisa Jasiyah kewalahan.

"Bercanda," Lanjut Nisfal seraya mengacak-acak hijab Jasiyah.

Bibir Jasiyah mengerucut dibalik cadarnya. Lalu menghapus bekas air mata.

"Ganti gamisnya, ayo kita pacaran."

Jasiyah belum mengikuti perintah dari Nisfal, ia masih mencerna perkataan suaminya. Ia takut seperti waktu itu, yang awalnya halus namun kala sudah ada Aurel kasar kembali. Huh, memang Jasiyah wanita apa? Di buang setelah dibutuhkan.

Detik berikutnya, Nisfal menghampiri lemari Jasiyah. Ia membuka sebelah kiri dan mata Nisfal terbelalak melihat isinya.

"Ups, maaf salah buka."

Wajah Jasiyah memerah. Ah... kenapa Nisfal menjadi semenyebalkan ini?

"Tuan.... jangan buka yang itu." Kata Jasiyah menahan malu.

"Ya habisnya, kamu belum ganti gamis juga. Cepat."

"Tapi Tuan jangan seperti waktu itu..." Nisfal menahan tawanya. Lalu meraih tangan Jasiyah untuk menghampiri lemari gamisnya.

"Tidak akan."

"Janji?"

"Iya, sayang."

***

Mobil putih Nisfal berhenti disebuah pemakaman. Alis Jasiyah bertautan. Ia menanyakan pada Nisfal tetapi jawabannya tetap satu 'nanti akan tahu'. Ah iya, naik mobil dengan Nisfal sama saja ia olahraga jantung. Pernyataan dan pertanyaannya selalu membuatnya terkejut dan pasti diluar nalar.

Menutup pintu mobil, lalu mengikuti Nisfal dari belakang. Gamis hitamnya menyapu dedaunan yang gugur. Jasiyah tersenyum kecil melihatnya, sungguh ia sangat suka dengan daun-daun kering itu. Dari daun Jasiyah belajar bahwa tidak selamanya daun yang kering jatuh lebih dulu, ada juga daun yang baru tumbuh sudah terjatuh karena hempasan angin. Sama halnya dengan kematian. Mati tidak melulu tentang tua. Mati tidak melulu tentang sakit. Mati adalah kuasa Allah, mati adalah takdir Allah. Mati adalah salah satu cara untuk menikmati kehidupan yang abadi.

Kini, Jasiyah tidak takut mati. Jika memang ia mati, ia akan bersyukur bahwa Allah lebih menyayanginya. Mengambilnya agar Jasiyah tidak merasakan sakit lagi. Jika ia memang sembuh, ia juga akan bersyukur karena Allah masih memberi kesempatan untuk menyembah lebih giat lagi. Sembuh atau tidak, ia akan mati juga'kan?

Dibalik Doa Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang