EPILOG

5.3K 577 348
                                    

Tidak tahu apa yang dirasa. Kala dia tiada, semua hampa.
-Nisfal

***

Jasiyah yang baru saja turun dari kamar menuju dapur tertahan oleh panggilan Nisfal. Wanita itu menoleh ke sumber yang memanggil lalu menghela napas ketika mendengar penuturan Nisfal yang menurutnya berlebihan. Padahal, Jasiyah merasa baik-baik saja. Sejak kepulangannya 3 hari yang lalu tidak ada keluhan yang berat, hanya sedikit nyeri dan itu wajar.

"Balik ke kamar dan istirahat." Ujar Nisfal.

Jasiyah mengerucutkan bibirnya seraya menggeleng pelan. Persis seperti anak yang dilarang main oleh ayahnya.

"Saya mau buat sarapan."

Nisfal berjalan menghampiri Jasiyah yang tak jauh dari jangkauannya. Ia berdiri tepat di hadapan Jasiyah. Nisfal menatap Jasiyah dengan tatapan sangat dalam. Seperti sedang menghipnotis istri polosnya.

"Ke kamar atau saya tidak akan bukakan kamar lagi untuk kamu?" Ucap Nisfal dengan nada dinginnya.

Jasiyah merinding mendengarnya. Nada yang pertama kali ia menginjakan kaki kemari terdengar kembali setelah beberapa bulan lamanya. Untuk mencari yang aman, Jasiyah memutuskan untuk kembali ke kamar. Ia tidak mempunyai keberanian untuk melanggar Nisfal, ia takut yang dulu terulang dan itu sangat mengerikan.

"Iya," Manut Jasiyah seraya meninggalkan Nisfal di ruang tersebut.

Melihat kepergian Jasiyah ke arah kamarnya membuat Nisfal tertawa kecil. Setakut itukah Jasiyah dengan Nisfal? Baru ditatap seperti itu saja nyalinya langsung menciut. Tapi bagus, itu artinya Jasiyah istri shaliha, kan?

Saat sudah berada di dalam kamar, Jasiyah menelusuri pandangannya pada setiap sudut ruangan. Lalu menghembuskan napas lamat-lamat. Bosan sekali melihat padangan yang seperti ini. Tidak ada bedanya dengan di rumah sakit. Ia selalu melihat gorden, jendela dan kawan-kawannya. Jasiyah menghampiri sofa dekat jendela lalu mengambil secarik kertas diatas meja kerja Nisfal.

Dulu, aku sedikit kecewa pada Allah. Sebab aku gagal menikah dengan dia. Padahal, aku selalu mendoakan, selalu meminta pada Allah agar aku disandingkan dengan dia. Namun, seorang pria yang tidak baik menurutku dulu tiba-tiba datang dan menghancurkan semua harapan serta impianku. Qadarullah. Aku dan pria itu menikah tanpa dasar cinta dan saling menyayangi tapi saling mendoakan.

Aku selalu berusaha berbaik sangka pada Allah dan mengambil hikmahnya, setiap dibalik harapan pasti ada doa dan dibalik doa pasti ada deraian air mata.

Dulu pria yang aku benci, kini pria yang aku cintai.

Tuan Nisfal, saya mencintaimu selalu dan seterusnya.


Saya, wanita ninjamu.

Senyum. Jasiyah menulis surat ini dengan senyuman yang merekah. Ia melipat kertas putih yang kini ada tintanya ia simpan diatas meja kerja Nisfal tepat disamping pulpen pemberian darinya. Yang didalam pulpen transparant itu terdapat kalimat sederhana. Semangat, Tuan. Entahlah, Jasiyah ingin menulis itu saja tidak ada yang lain. Kini Jasiyah tengah duduk dihadapan cermin riasnya. Perlahan, ia melepas hijab bergo panjanh yang sedang kenakan. Perlahan tapi pasti, Jasiyah membuka hijabnya. Pada akhirnya hijab itu telah tidak lagi membaluti kepala Jasiyah lagi, bertepatan dengan Nisfal yang masuk.

Dibalik Doa Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang