7. Munafik

6.6K 418 34
                                    

Dibalik ujian, ada rindu yang Allah titipkan. Dibalik cobaan, ada cinta yang Allah selipkan.

***

"Kamu hamil."

Dua kata mampu mematahkan hatinya berkeping-keping. Ia tidak bisa bernapas detik itu juga, seolah oksigen lenyap disekitarnya. Tubuhnya menjadi panas dingin. Mata cokelat menumpahkan air bening yang mampu mewakili perasaan saat ini. Perlahan, tangan yang dipasangi jarum infus mengusap perutnya yang kini ada darah dagingnya. Calon anaknya.

Yaa Allah... apa ini karunia-Mu?

Sementara pria yang disampingnya hanya diam menyaksikan kepedihan Jasiyah. Pria macam apa ini? Sama sekali diraut wajahnya tidak memiliki rasa bersalah sedikitpun.

Mulut mungil Jasiyah tak henti menyebut Asma Allah itu adalah pertolongan pertama dan terakhir ketika hati dan pikiran sedang kacau.

Kini Jasiyah merubah posisinya menjadi duduk. Ia menunduk. Tubuhnya yang tadi sudah bertenaga kini merasakan lemas kembali.

"Saya membutuhkan anda. Saya tidak bisa membesarkannya tanpa seorang ayah." Ucap Jasiyah bergetar. Pasalnya, baru kali ini ia memohon kepada lelaki. Baru kali ini ia menangis dihadapan lelaki, kecuali ayahnya. Mengapa dirinya begitu hina?

Masa depannya berantakan, impiannya kacau. Manusia hanya bisa merencanakan, tapi Allah yang menetapkan. Jasiyah tahu ini sudah digarisi oleh Allah tapi mengapa hatinya sulit sekali menerima? Sejak tadi yang ada dipikiran hanyalah jidahnya. Bagaimana ia memberitahu semua ini? Ia yakin, jidah sangat malu memiliki cucu sepertinya.

"Saya akan menikahimu, tapi kamu tetap menjadi pembantu."

Jasiyah tertegun. Berusaha mencerna ucapan pria ini.

"Nanti, kamu itu istri saya, tapi bukan berarti kamu berhak atas segalanya. Saya hanya membantu agar keluargamu tidak menanggung malu." Ucap Nisfal seraya memberi secarik kertas yang terbungkus amplop.

"Dan kamu harus tahu. Awalnya saya kemari mengajak kamu untuk mengurus ibu saya. Ternyata saya kemari mendapat musibah, menikahi cucu pembatu berwujud ninja."

Deg.

Astagfirullah...

Begitukah mulut pemimpin? Begitukah mulut yang pendidikannya tinggi? Tidak bisa menghargai orang dan tidak bisa menjaga perasaan orang?

Semoga hati beliau melembut dan bisa menjaga ucapan yang begitu menyayat.

***

"Jidah, Jasi... mengandung.." dengan lirih, bergetar, hati-hati, serta ketakutan yang membuncah ia terpaksa menyampaikan hal itu.

Rifa dan Nadira terkejut atas pernyataan yang disampaikan Jasiyah. Jidah pun tak kalah terkejut, sampai tidak bisa bicara sepatah kata apapun.

Nisfal yang duduk di kursi hadapan jidah mulai membantu untuk menjelaskan sedetail mungkin.

"Bibi tenang saja, saya akan bertanggungjawab. Jika perlu lusa saya akan menikahi cucu bibi."

Rifa dan Nadira berpandangan tak percaya. Sedangkan Jasiyah hanya menunduk merasa bersalah dan menyesal. Jidah menatap lekat Nisfal, mantan anak majikan yang sebentar lagi akan menjadi cucunya?

"Jujur jidah sangat kecewa atas perbuatan kamu Jasi. Kamu selalu jidah bangga-banggakan atas prestasi yang kamu raih salah satunya. Jidah menyekolahkan kamu untuk menuntut ilmu, kemana ilmu itu? Jidah juga selalu mengingatkan perihal kehormatan seorang wanita, kemana nasehat jidah?" Ucap jidah dengan tegas. Tidak, jidah tidak menangis dihadapannya. Tapi Jasiyah tahu, jidah akan menangis ketika ia sendiri diatas sajadahnya.

"Jidah gagal mendidikmu"

Jasiyah kini duduk dibawah jidah. Ia meraih tangan yang keriput lalu menciumnya dalam-dalam.

"Maafkan Jasi membuat malu keluarga. Jasi tidak tahu kalau begini akhirnya. Insya Allah Jasi ikhlas jidah... mungkin Allah rindu Jasi, ingin mendengar rintihan memohon pada-Nya."

"Jangan minta maaf pada jidah. Minta maaf pada Allah. Minta ampunan pada-Nya. Kamu sudah melanggar larangan-Nya." Ucap jidah.

Jasiyah mengangguk secepat mungkin. Lalu ia menjauhkan wajahnya dari punggung tangan jidah.

"Jidah setuju kalau kalian menikah lusa."

***

Dirumah mewah nan megah terdapat sebuah argumen antara keponakan dan om tentang kehamilan seorang wanita yang dihamili Nisfal.

"Om tidak pernah mengajarkan perlakuan bejad seperti itu Ipal!"

"Om memang tidak mengajarkan saya." Jawab santai Nisfal.

"Sejak kapan kamu melakukan sepertu itu?"

"Sudah lama"

"Astagfirullah... papa kamu akan kecewa kalau begini kelakuan kamu"

"Dia sudah tidak ada"

"Nisfal! Jaga ucapan kamu!"

Nisfal diam dengan wajah datarnya. Ada apa sih dengan papanya itu? Ia sebagai anak belum pernah mengenal papanya. Sebaik apa sosok papanya? Hingga semua orang sangat menghargai. Bundanya pun sampai depresi berat akibat kepergian papanya.

"Apa kamu tahu? Kamu itu--"

"Abang, jangan" potong wanita berkhimar hitam yang baru masuk kedalam rumah.

Nisfal mengernyit bingung. Ada apa sebenarnya?

"Biarkan saja Wa, biar dia malu!"

Wawa menghela napas, lalu duduk disamping Arga yang sedang emosi.

"Nisfal bukan anak kecil lagi bang. Dia sudah tahu mana yang baik dan buruknya. Biarkan saja mau apa dia, tugas kita hanya mengingatkan. Toh dia yang merasakan rugi dunia akhirat."

Arga diam. Sedangkan Nisfal bersandar di sofa cokelatnya sambil memejamkan mata. Lihatlah begitu tidak sopannya pria itu.

"Jadi kapan kamu mau menikahkan wanita itu Ipal?" Tanya Wawa begitu lembut.

"Lusa."

"Mau pakai resepsinya?"

"Tidak usah."

"Nisfal.. apa kamu mencintainya?"

"Tidak sama sekali."

Dibalik Doa Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang