15. Kali Kedua

6.1K 538 85
                                    

Lagi-lagi aku berharap, agar dia menjadi pelengkap.

***

Sekitar jam 8 malam, acara tasyakuran atas kesembuhan Aura telah selesai, hanya menyisakan Wawa dan Arga saja untuk membantu membereskan semua. Aura sibuk membantu Jasiyah sedang mencuci piring yang menggunung. Sedangkan Wawa dan Arga kebagian melipat karpet dan menyapu. Nisfal? Ah entah pria itu kemana, sejak acara selesai dia sudah menghilang.

Jasiyah tidak henti-henti mengucapkan alhamdulillah karena nikmat yang Allah berikan begitu luar biasa. Jasiyah setuju dengan kata-kata semua ada waktunya.

Prang!

Jasiyah terperanjat mendengar suara piring jatuh. Jasiyah menengok ke samping kanannya yang sudah terdapat Aura sedang membersihkan pecahan-pecahan itu. Ia jongkok, membantu Aura.

"Ibu baik-baik saja?" Tanya Jasiyah khawatir.

Aura mengangguk. "Iya, Bunda baik-baik aja. Tangan Bunda licin--"

"Aw!" Pekik Aura yang terluka. Jasiyah membulatkan matanya. Diambil jari manis Aura yang sobek akibat serpihan lalu mengisap darah itu dengan menyingkabkan cadarnya sedikit.

"Ibu harusnya dengar apa kata saya, sebaiknya ibu istirahat dikamar. Kan jadi luka, ayo saya beri obat dulu lukanya." Ucap Jasiyah yang terlihat khawatir.

"Lukanya nggak terlalu parah, Jasiyah." Sahut Aura seraya berjalan didampingi wanita bercadar hitam itu.

Kini mereka sudah duduk sofa ruang keluarga. Setelah mengambil P3K Jasiyah duduk kembali disamping Aura. Dengan telaten ia mengobati ibu mertuanya. Saat menempelkan handsaplast tiba-tiba pria berkemeja maroon berbaring pada paha Jasiyah.

Wanita itu menahan napasnya, terkejut dengan perlakuan pria yang tiba-tiba datang dan berbaring dipangkuan. Pria itu berbaring memunggungi Aura, otomatis wajah Nisfal mencium perut Jasiyah. Kepala Nisfal tidak bisa diam, ia sedang mencari posisi yang tepat.

"Eh, Tu-- Mas?" Ujar Jasiyah yang merasa tidak nyaman.

Mereka membuat kesepakatan untuk menjadi pasangan yang sungguh-sungguh bila di depan Aura. Nisfal tidak mau jika Aura tahu apa yang terjadi sebenarnya, demi kebaikan Aura. Hanya itu. Hingga panggilan pun diubah oleh Jasiyah. Yang biasanya 'Tuan' menjadi 'Mas' itu berlaku hanya ada Aura saja. Tapi, didalam lubuk hati Jasiyah yang paling dalam, ada segelintir harap agar panggilan itu akan terus menerus sekalipun tanpa adanya Aura.

"Jasi, tolong buatkan aku teh hangat pakai madu."

Sekuat tenaga ia menahan agar tawanya tidak pecah. Mendengar nada lembut dan kata 'aku' yang terucap membuat Jasiyah geli mendengarnya. Entah mengapa tiba-tiba pipi Jasiyah memanas ketika Nisfal membenarkan cadarnya yang sedikit tidak rapi ditepiannya.

"Ada Bunda disini, Ipal. Jangan bikin Bunda iri." Sindir Aura sambil menarik tangannya yang belum sempat dipakaikan handsaplasnya.

"Biar Bunda aja, kamu urus si manja itu. Bunda mau bantu Wawa." Lanjutnya sambil beranjak.

Jasiyah dan Nisfal saling memandang satu sama lain lalu menatap punggung ibunya yang menghilang ditelan tembok. Detik berikutnya mereka diselimuti rasa canggung. Hingga akhirnya Jasiyah berdehem agar Nisfal bangun dari pangkuannya.

"Permisi Tuan."

Tidak ada jawaban.

"Maaf Tuan, tadi minta dibuatkan teh? Biar saya buatkan."

"Diam. Saya sedang lemas akibat mual-mual yang terus mengganggu saya." Ucap Nisfal yang sedikit membentak.

Kalau lemas kenapa tidak istirahat dikamar? Kenapa malah berbaring dipaha Jasi?

***

K

ali kedua untuk Jasiyah yang satu kamar dengan Nisfal. Tapi tetap saja mereka tidur terpisah. Jasiyah di sofa sedangkan Nisfal tidur di kasur. Tak apa, yang penting Nisfal tidur dengan nyaman kata Jasiyah.

Jasiyah tertidur dengan cadarnya. Sudah dikatakan, ia masih belum berani melepas cadar didepan Nisfal padahal Nisfal berhak atas itu.

Sepuluh menit lagi pukul dua belas malam tapi mata Nisfal masih terjaga. Entah ada hal menarik apa, pandangannya terus menuju sofa yang terdapat Jasiyah sedang tidur pulas. Apa dia nyaman tertidur di sofa? Pertanyaan itu yang muncul sejak tadi. Sebenarnya Nisfal bisa saja yang tidur di sofa tapi entah mengapa mulut Nisfal susah sekali untuk mengatakan hal itu.

"Wanita sepertimu tidak pantas berbaring disebelah saya." Kata-kata yang sudah terucap itu rasanya ingin Nisfal tarik kembali. Ia sedikit menyesal. Ia tidak memikirkan bagaimana perasaan wanita itu. Bodoh. Nisfal memang bodoh.

Perlahan, Nisfal turun dari kasur tersebut lalu ia berjalan menuju Jasiyah yang tengah tertidur. Beberapa detik ia berdiri dihadapannya. Penerangan yang temaram membuat Nisfal harus menyipitkan dulu kedua matanya agar bisa melihat wajah Jasiyah yang tertutup sebagian dengan jelas. Nisfal sedikit kagum, ternyata jika dari dekat wajah Jasiyah sangat mulus dan berseri. Wajahnya begitu damai ketika dipandang. Hingga pada akhirnya, Nisfal membopong tubuh ramping Jasiyah ke kasur agar wanita itu tidur lebih nyaman. Ternyata gengsi Nisfal terkalahkan oleh rasa kasihan. Ya, Nisfal kasihan melihat Jasiyah tidur di sofa sedangkan dirinya dikasur. Apalagi wanita itu sedang mengandung. Percayalah, Nisfal tidak sekejam itu.

Paginya, Jasiyah cukup kebingungan mengapa ia berada diatas kasur. Ia menyapu pandangannya, terhenti di sofa yang ia jadikan tempat tidur semalam. Kini posisinya tertukar. Jasiyah di kasur sedangkan Nisfal di sofa. Jasiyah tersenyum tipis,

Lagi-lagi aku berharap, agar dia menjadi pelengkap.

Sebelum turun dari kasur, ia membenarkan cadarnya dulu yang berantakan. Matanya melirik jam yang ada di dinding, lima belas menit lagi adzan subuh akan berkumandang. Jasiyah berinisiatif membangunkan Nisfal untuk salat subuh berjamaah. Tidak ada salahnya kan untuk mencoba?

"Maaf Tuan, 15 menit lagi adzan subuh. Mari kita salat berjamaah, ya?" Ucap Jasiyah seraya mengusap lengan Nisfal.

Nisfal terusik. Matanya terbuka secara perlahan, pandangannya langsung menuju wajah Jasiyah yang tengah tersenyum. Terlihat dari matanya yang membentuk bulan sabit.

"Kamu tahukan? Saya kecewa karena doa saya tidak pernah dikabulkan. Tidak, saya tidak mau."

"Apa Tuan lupa kalau doa Tuan sudah dikabulkan?"

Nisfal diam. Benar juga, dulu ia meminta pada Allah agar Bundanya sembuh dan sekarang Allah mengabulkan doa itu. Ah Nisfal hampir lupa.

"Jadi, mari kita salat sama-sama." Ajak Jasiyah dengan penuh kemenangan.

***

Plis atuh, kalian jangan nyebut-nyebut Afka. Aku gagal move on dari dia tolong! Kangen banget sama Afka:(

Oh iya, maaf updatenya lama terus hehehe.

Dibalik Doa Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang