Beberapa menit kemudian, Arvin memasuki ruangan. Dengan cepat aku menyeka air mataku, walaupun Arvin pasti sudah melihatnya. "Lisa, sudah kukatakan, kamu tidak perlu berbicara dengannya." protes Arvin. "Tidak papa, baiklah. Ayo."
Ruangan pengadilan sudah ramai, beberapa sanak keluarga menghadiri persidangan perceraian. Aku tidak sanggup melihat tatapan mereka padaku, tertuma tatapan Ibu dan Ayah. Ibu Patricia menghampiriku dengan didampingin Ayah Danis. "Lisa, Ibu mohon. Pikirkan lagi." ucap Ibu Patricia. Aku hanya menunduk dan duduk ditempat yang telah disediakan. Tak lama Zino memasuki ruangan, tak jauh dibelakangnya Lidia mengekori. Hatiku semakin terasa sakit, tapi aku harus kuat.
Pengadilan dimulai dengan beberapa pertanyaan dan penjelasan-penjelasan yang menurutku tidak masuk akal. Aku menolak ketika tersebut upayaku untuk berselingkuh dan lain sebagainya. Semua itu hanya salah paham, aku mengungkapkannya. Tapi sepertinya pihak Zino bersikeras semua itu bukanlah kesalah pahaman. "Baiklah, kedua belah pihak sudah menandatangi surat perceraian. Apakah masih ada seuatu yang ingin diungkapkan lagi?" tanya Hakim. Aku berdiri dari dudukku, semua orang menatapku dengan bingung. "Permisi yang mulia, ada sesuatu yang ingin saya sampaikan." semua orang menatapku, tanganku gemetar. "Silahkan." jawab Hakim. "Saya ingin meminta maaf kepada suami, mantan suami saya karena telah menyusahkan selama ini. Terimakasih." ucapku sambil menundukkan kepala.
Sudah, akut idak perlu mengatakannya.
Palu diketuk tiga kali, kami resmi bercerai.
***
Beberapa jam setelah sidang perceraianku, hatiku terasa hampa. Arvin mengantarkanku ke apartemen usai jamuan makan siang bersama keluarga. Aku ingin memberitahukan kehamilanku pada Ibu, Ayah dan teman-temanku. Aku ingin melihat ekspresi bahagia semua orang mendengar kehamilanku. Aku mendengar ucapan selamat dan doa orang-orang untuk anakku. Aku ingin menjadi Ibu hamil yang bahagia bersama suami yang menyayanginya. Aku ingin, sangat ingin.
Air mataku terjatuh, aku mengusap perutku. "Ibu tidak bersedih nak, Ibu senang kamu disini menemani Ibu." tangaku gemetar, hatiku terasa sakit sekali. Perhalan matahari mulai terbenam, memunculkan warna kelabu yang mulai menggelap. Sedari tadi aku hanya memandangi jendal sembari memakan potongan Apel. Besok aku akan berangkat ke kampus, semua orang pasti membicarakanku. Tidak apa, aku tidak perduli.
***
Pagi hari ini tidak secerah biasanya, awan kelabu sudah bergumpal diatas dan seakan ingin menangisi nasibku. Aku melangkahkan kaki dan menarik masker untuk menutupi mulut hingga hidungku. Bukan hanya agar orang-orang tidak mengenaliku, tapi asap beberapa kendaraan sangat tidak baik untuk kehamilan. Pagi ini aku sarapan lebih banyak dari yang biasa kulakukan, dengan harapan berat badanku akan bertambah. Semua ini kulakukan demi anakku, dia harus terlahir sehat dan ceria.
Aku sudah memikirkannya sejak malam, aku harus berhenti bersedih demi anakku. Perasaan Ibu sangatlah terikat dengan janin yang ada didalam kandungannya. Jadi aku tidak ingin anakku merasakan kesedihan yang kurasakan. Walaupun aku tidak tahu, apakah dia sudah merasakannya. Tak lama bus yang kutumpangi untuk berangkat kuliah sampai. Beberapa orang seakan berebut untuk masuk kedalam bus. Tidak ada tempat duduk, semuanya penuh. Sekarang ini membuatku berfikir, apakah tidak apa jika aku berdiri selama tiga puluh menit didalam bus. "Nyonya, silahkan. Duduk." ucap seorang anak laki-laki yang berseragam. "Iya terimakasih." sungguh aku senang sekali dia memberikan tempat duduknya padaku tanpa aku harus meminta padanya. "Semoga anak Anda sehat Nyonya." ucapnya kemudian melangkah sedikit mengarah kebelakang bus.
Entah dari mana dia tahu aku sedang mengandung, tapi dia laki-laki yang baik. Selama perjalanan benar saja hujan mulai turun, suhu udara semakin dingin. Aku mengambil sarung tangan yang berada didalam tasku dan mengenakannya. "Pemberhentian terakhir." seru sang supir dari meja kemudi. Aku berdiri dan melangkahkan kakiku menuruni bus. Rintik hujan masih membasahi kota, Aku berjalan menuju halte untuk berteduh. Kelas pertamaku dimulai dalam tiga puluh menit. Tak apa, masih ada waktu sampai hujan mungkin saja akan berhenti. Aku menunggu seorang diri di halte bus, udara sepertinya semakin dingin. '"Lisa.." seseorang meneriakiku. Ternyata itu Arvin, dia mengenakan jas hujan dan berlari menuju halte. "Apa yang kamu lakukan?" tanyanya. "Menunggu hujan." jawabku sambil tersenyum. "ini aku bawa payung, tadinya buat Aurel. Tapi hari ini dia gak masuk, katanya sakit." Arvin menyodorkan payung kepadaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
HATE OR LOVE (Love is Complicated)
Lãng mạn"Aku tidak pernah mengenal Cinta, sampai aku mengenal dirinya." - Lisa Mazoe "Benci, mungkin itu yang bisa menjelaskan perasaanku padanya." - Rezino Willins Lisa Mazoe lugu dengan hati yang begitu polos harus menerima kenyataan untuk dinikai dengan...