"Sekarang kamu mau marah? kamu mau pergi? Lakukanlah itu memang seperti apa yang biasa kau lakukan." aku meneriakinya, membuat Zino menghentikan langkah kakinya yang kesulitan.
"Harusnya aku yang marah, harusnya aku. Kenapa kau kembali lagi di hidupku, aku sudah berusah payah melupakan semuanya. Kenapa? katakan kenapa?!" aku tidak bisa membendungnya lagi.
Aku kesal, marah, terluka dan kecewa. Aku tidak mengerti kenapa kehidupan ini seperti selalu ingin mempermainkanku. Dengan susah payah aku menghindari dirinya, pergi jauh dari kota dan orang-orang perduli padaku. Tapi dia masih datang padaku, dengan niatan entah apa yang tidak ku tahu.
Zino melanjutkan langkahnya, meninggalkanku. Tidak, kenapa dia tidak kembali meneriakiku. Kenapa dia tidak memakiku seperti apa yang biasa dilakukan dulu. Ya Tuhan, sikapnya sekarang ini malah semakin membuatku frustasi dibandingkan dulu. Karena aku tidak mengerti.
"Lebih baik kamu istirahat sekarang." ucapnya sebelum akhirnya menghilang diundakan terakhir. Aku meghela nafas karena emosiku yang meluap tanpa kendali.
Aku terduduk diantara sofa yang empuk, tapi aku masih emosi. Kenapa sikapnya seperti itu, dia berubah dan aku tidak mengerti kenapa.
***
Aku terbangun dari tidur hari karena mendengar suara benda jatuh tepat didepan pintu kamarku. Sejak hamil aku jadi semakin sensitif terhadap suara dan mudah terbangun saat tidur. Kulihat jam dinakas menunjukkan pukul dua pagi hari. Tunggu, ada seperti suara erangan didepan pintu.
Aku mengambiil kunciran kecil untuk menyanggah rambutku yang cukup berantakan. Kepalaku sedikit terasa pusing karena terbangun karena terkejut. Semakin dekat menuju pintu suara erangan itu semakin terdengar kencang.
"Zino!" aku sangat terkejut saat melihat Zino tergeletak dilantai dengan satu tangannya tangan penuh darah yang memegangi sisi kanan perutnya.
"Zino apa yang terjadi?"
"Ibu! Ayah!!" aku berteriak mencoba membangunkan Ibu dan Ayah yang tidur dikamar bawah. Aku terduduk disamping Zino yang terus-menerus mengerang kesakitan.
"Ayah! Ibu!!"
"Ada apa Lisa?" tanya Ayah dari bawah tangga yang terlihat kebingungan.
"Kemari, Zino!" Ayah berlarian menaiki tangga dan sama terkejutnya seperti diriku melihat Zino yang bersimbah darah.
"Ibu telfon ambulan, polisi atau siapapun, tolong Zino!" Tanganku gemetar, aku mencoba menahan sisi perut Zino yang terluka dengan menekannya.
"Zino, kamu bisa dengar aku? bertahanlah, semua akan baik-baik saja." sungguh aku bodoh mengucapkan itu, karena tentu saja semua tidak akan baik-baik saja. Aku panik dan Zino sudah semakin lemah.
"Pertolongan dalam perjalanan, Ibu akan ambil kain." aku sebetulnya sudah tidak fokus lagi mendengar apa yang Ibu dan Ayah bicarakan. Aku hanya terus memandangi Zino yang berlumuran darah.
"Lisa...." Zino bergumam matanya tetap terpejam.
"Iya ya, aku disini. Zino bertahanlah, kumohon."
"Aku akan bertahan, pasti." suaranya begitu pelan. Aku tidak tahu bagaimana semua ini bisa terjadi. Bagaimana Zino bisa terluka seperti ini.
Sudah hampir lima belas menit kami menunggu, Zino sudah semakin lemah. Ibu dan Ayah sibuk mencari pertolongan, aku terus berusaha berbicara pada Zino, menjaganya agar tetap tersadar.
Tak berapa lama aku mendengar suara sirine mendekati rumah. Ayah dan Ibu berlari menuju pintu depan. Orang-orang berlarian masuk membawa tandu, oksigen dan apapun itu aku tidak mengerti.
KAMU SEDANG MEMBACA
HATE OR LOVE (Love is Complicated)
Romance"Aku tidak pernah mengenal Cinta, sampai aku mengenal dirinya." - Lisa Mazoe "Benci, mungkin itu yang bisa menjelaskan perasaanku padanya." - Rezino Willins Lisa Mazoe lugu dengan hati yang begitu polos harus menerima kenyataan untuk dinikai dengan...