Sudah lebih dari tujuh jam kami menunggu, Zino belum sadarkan diri juga. Ibu Patricia baru saja sampai satu jam yang lalu. Tentu saja Ibu Patricia menangis tidak henti-henti, memikirkan nasib sial putranya yang lagi-lagi mengalami kemalangan. Sejenak aku merasa bahwa dirikulah yang membawa kesialan itu padanya.
Saat ini Peter sedang berada di ruangan untuk transfusi darah, Zino seperti dilindungi oleh dewa. Aku tidak bisa memikirkan bagaimana jadinya jika Peter tidak memberikan darahnya pada Zino. Aku semakin merasa diriku begitu tidak berguna. Pemikiran untuk kedepannya jika mungkin aku bersama dengan Zino pun pupus. Aku tidak ingin berharap seperti itu lagi, dia tidak aman bersamaku.
***
Aku terbangun dari tidur yang aku tidak sadari, bahkan aku sedikit lupa bagaimana caranya aku bisa berada diruangan ini. Kulihat diatas ranjang Zino terbaring dengan peralatan rumah sakit. Lagi-lagi keadaan seperti ini, akan tetapi kali ini berbeda. Aku berharap yang kulihat adalah Zino yang sudah terbangun sembari mengunyah makanan dimulutnya, tapi sepeertinya itu tidak terjadi sekarang ini.
Aku tidak mengerti kenapa begitu lama Zino untuk bangun. Rasa khawatir semakin membunuhku, kumohon cepatlah bangun.
"Lisa, kamu belum makan dari semalam. Ayo makanlah." ternyata Ayah Danis. Dihadapanku ada beberapa makanan, sandwich, susu dan buah-buahan. Aku melihat sekeliling, tidak ada tanda-tanda keberadaan Ibu, Ayah atau Ibu Patricia.
"Semua orang kemana?" tanyaku pada Ayah Danis.
"Ah mereka tengah mengurus sesuatu, kamu tidak perlu khawatir. Ayo makan nak, kasihan anakmu." tentu saja Aku hampir lupa soal kehamilanku.
dan aku semakin merasa bodoh. Dalam hati aku terus berucap kata maaf, semoga saja kamu tetap sehat nak.
***
Jam 12 siang, semua orang sibuk dengan tugasnya masing-masing. Peter dan Ayah Danis mengurus persoalan rumah sakit dan penjagaan. Didepan kamar Zino sudah ada dua orang bodyguard yang ternyata sudah berjaga sejak tadi malam. Ibu dan Ibu Patricia bergantian menjaga Zino dan mengecek keadaannya.
"Ibu.." Ibu Patricia menatapku saat aku memanggilnya.
"Maaf kan aku." ucapku lirih. Aku sungguh merasa bersalah dengan semua yang terjadi.
"Tidak Lisa, ini bukan salahmu."
"Kalau saja aku tidak membiarkannya tinggal dirumah, pasti semua ini tidak akan terjadi."
"Tidak sayang, Zino yang meminta untuk tinggal dirumahmu, jadi itu bukan salahmu." sungguh aku terkejut mendengarnya, Zino yang memintanya?
"Apa?"
"Ah sepertinya kau belum tahu ya." Ibu Patricia menuntunku untuk duduk di sofa.
"Jadi itu bukan Ibu yang memintanya?" tanyaku.
"Tentu saja bukan, aneh sekali, kenapa Ibu menyuruhnya tinggal denganmu. Zino yang memintanya, sebetulnya Ibu tidak paham mengapa, tapi dia sepertinya serius sekali untuk menjagamu."
Aku terdiam sejenak memikirkan semuanya, kenapa Zino meminta untuk tinggal denganku. Apa Zino tahu soal orang yang ingin mencelakai diriku?
"Lisa lebih baik kamu pulang terlebih dahulu, ganti pakaian dan bersih-bersih. Setelah itu kamu istirahat, Ibu bisa jaga Zino disini." ucap Ibu Patricia. Aku menggeleng, karena memang aku tidak ingin pulang saat ini.
"Lisa dengarkan Ibu, kamu tidak boleh egosi. Kamu harus ingat, perutmu sudah semakin besar, sebentar lagi anak ini lahir. Ibu yakin Zino juga tidak ingin ada hal-hal buruk terjadi." seketika aku terdiam, merasa bodoh karena sikapku yang begitu egois.
***
Kalian pasti bisa menebak, ya aku akhirnya memutuskan untuk pulang kerumah. Berat sekali hati ini rasanya, meninggalkan Zino dirumah sakit. Walaupun aku yakin banyak orang berusaha untuk menjaganya, tapi tetap saja.
Usai membersihkan diri, aku merebahkan tubuhku diatas ranjang. Benar saja seperti apa yang Ibu Patricia katakan, tubuhku memang sudah lelah. Rasanya nikmat sekali punggung ini menyentuh empuknya ranjang.
Tok tok..
Aku cukup terkejut mendengar ketukan pintu, karena pasalnya aku sendirian dirumah. Ibu dan Ayah entah kemana, aku tadi pulang dengan menggunakan taksi.
"Siapa?"
"Lisa ini aku, Peter." Dahiku otomatis berkerut, bukankah Peter sedang transfusi darah. Bagaimana caranya dia bisa dirumahku begitu cepat. Aku berjalan menuju pintu, sebetulnya sedikit ragu untuk membukakan pintu. Tapi suara yang kudengar tadi benar-benar suara Peter.
Aku membuka pintu dan ya tentu saja itu adalah Peter.
"Bukannya kamu sedang transfusi darah dirumah sakit?" tanyaku. Entah mengapa Peter terlihat berfikir keras dengan pertanyaan yang kuajukan.
"Ah iya, sudah selesai. Ibu dan Ayahmu khawatir kamu dirumah sendirian, makanya aku kesini untuk menjemputmu." ucapnya. Tunggu, menjemputku?
"Uuum, aku baru saja mau istirahat sebentar. Kamu mau menjemputku kemana?" Peter menggaruk tengguknya yang kurasa tidak gatal. Kenapa dia bersikap aneh seperti ini.
"Oh begitu ya, aku tidak tahu, tapi Ibu dan Ayahmu sepertinya ingin aku menjagamu disini. Kau mau aku buatkan sesuatu?" aku hampir lupa, tentu saja Ibu dan Ayah mungkin khawatir. Tadi aku berangkat tanpa memberitahu mereka.
"Ah tidak perlu, aku hanya ingin tidur sebentar." jawabku. "Bagaimana kalau ku buatkan teh chamomile? Pasti bisa membantumu lebih mudah untuk istirahat."
"Boleh." Peter berjalan menuruni tangga menuju dapur. Aku menunggunya sambil duduk diatas ranjang. Kudengar Peter menaiki anak tangga, tak lama aku melihatnya dengan gelas di tangannya.
Peter menyodorkan gelas itu padaku dan duduk di sofa dikamarku. "Terimakasih." ucapku.
Peter memandangi sekeliling kamarku, seperti mencari sesuatu. Kenapa dia terlihat begitu aneh, apa ada sesuatu yang dia sembunyikan dariku.
"Ada apa? kamu ingin membicarakan sesuatu?" tanyaku. Peter menatapku, dia terdiam kemudian menggeleng. "Lalu, kenapa masih dikamarku?" tanyaku lagi. "Sebetulnya, ada sesuatu yang ingin kukatakan padamu." Peter terdiam, dia menggaruk tengkuknya lagi seakan terasa gatal, tapi kuyakin tidak.
"Apa?" sejujurnya aku bingung dengan sikapnya sedari tadi yang terlihat begitu aneh. "Tidak, tidak usah dipikirkan. Aku akan tunggu dibawah."
Ting..
Ponselku berbunyi, tanda ada pesan masuk. Aku mencoba meraih ponselku, tapi kepalaku terasa pusing. Kuletakkan gelas teh diatas nakas, saat kulihat ponsel ternyata pesan dari Ibu.
'Sayang, kenapa kamu pulang sendirian? Ibu dan Ayah mengkhawatirkanmu, Ayah sedang dijalan menjemputmu.'
Tunggu, apa maksudnya pesan ini. Ibu seperti baru tahu kalau aku pulang kerumah. Bukannya Ibu dan Ayah menyuruh Peter menamiku dirumah.
"Peter.." aku mencoba berdiri, kakiku lemas dan kepalaku terasa begitu pusing dan menyakitkan. Aku memegangi kepalaku, kakiku tak sanggup langi menopang tubuhku. Aku terduduk lemas, didepan pintu aku lihat seseorang berdiri, Peter.
"Kepalaku sakit, Peter." gumamku. Entah siapa yang berdiri disana, tapi dari pakaian yang dikenakan, dia Peter.
Gelap, pusing, lemas.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
HATE OR LOVE (Love is Complicated)
Romansa"Aku tidak pernah mengenal Cinta, sampai aku mengenal dirinya." - Lisa Mazoe "Benci, mungkin itu yang bisa menjelaskan perasaanku padanya." - Rezino Willins Lisa Mazoe lugu dengan hati yang begitu polos harus menerima kenyataan untuk dinikai dengan...