Lisa POV
Hari demi hari berganti, tidak ada yang spesial. Beberapa hari ini aku menghabiskan waktu pergi ke toko buku dan perpustakaan. Mempersiapkan semester baru yang sebentar lagi akan kulalui. Minggu lalu aku bertemu dengan Ibu dan Ayah, mereka senang aku dapat melanjutkan pendidikanku. Mereka juga berharap jika nanti Zino akan memberikanku kesempatan mencicipi dunia kerja. Walaupun kita semua tahu, aku tidak perlu bekerja. Jujur saja, aku sangat ingin mencoba dunia kerja. Agar aku bisa menyisihkan sedikit penghasilanku, untuk membahagiakan Ayah dan Ibu. Tapi aku belum pernah menanyakan perihal ini kepada Zino. Alasan lain mengapa aku ingin mencoba bekerja setelah lulus kuliah, agar aku siap jikalau nanti aku tidak lagi bersamanya.
Tidak ada perkembangan yang signifikan antara hubunganku dengan Zino. Dia masih seperti dirinya, tidak pernah berubah. Selalu menjawab setiap pertanyaanku dengan dingin, jarang tersenyum dan jarang dirumah. Tapi aku bersyukur, setidaknya ia cukup memperlakukanku dengan baik. Walaupun memang jauh dari harapanku sebagai seorang istri.
Sore ini langin terlihat tidak begitu cerah. Sedari pagi angin bertiup cukup kencang, daun-daun yang menguning berguguran dari tangkai-tangkai pohon. Langkahku menuju apartemen tidak terhenti, kurekatkan diri diantara jaket kebesaran yang ku kenakan. Beberapa hari ini aku mulai pergi keluar seorang diri. Dengan syarat dari Zino, tidak boleh lebih dari lima kilometer dari apartemen. Aku mulai menyadari Zino begitu overprotective padaku. Zino memberiku cukup banyak peraturan, seperti minimal diluar sampai jam tujuh malam, selalu izin kemanapun aku ingin pergi, tidak ke club atau ke bar dan lain sebagainya. Terkadang aku merasa bingung semua peraturan ini, untuk apa. Bahkan Zino memasangkan aplikasi dimana dia bisa mengetahui kemana aku pergi tanpa aku memberitahukannya.
Terkahir kali aku sempat berbohong padanya, dengan mengatakan ingin ke supermatket sebentar, tetapi aku pergi kerumah sakit. Bukannya tanpa alasan, aku ingin mengecek sesuatu. Pertama kali dan terakhir kalinya aku dan Zino melakukan itu, seingatku Zino tidak menggunakan pelindung. Tentu saja, sebagai seorang perempuan aku memikirkan hal tersebut. Bukannya aku tidak terima jikalau nanti aku akan mengandung, aku tidak masalah, sungguh. Karena mungkin itu adalah takdir, tapi alangkah lebih baiknya jika aku tahu.
Tapi hasil yang kudapatkan melalui alat tes kehamilan, positif, itu membuat perasaanku campur aduk. Keesokan harinya aku kerumah sakit dan berbohong kepada Zino. Hasil yang dikeluarkan dokter kandungan pun sama mengejutkannya untukku, negatif. Dokter bilang aku tidak hamil, entah mengapa perasaan kecewa begitu menghantamku. Semalaman aku membayangkan bagaimana rasanya jika aku hamil dan menjadi seorang Ibu. Membayangkan kenyataan bahwa mungkin sikap Zino akan berubah. Tapi aku harus menelan kenyataan bahwa aku tidak hamil dan kesempatan untuk hamil anak Zino tidak datang untuk yang kedua kalinya.
Hari itu ponselku mati, aku lupa mengisi baterai. Aku berjalan dikoridor rumah sakit yang sunyi, sampai akhirnya mendengar langkah kaki besar berlarian di ujung lorong. Kulihat Zino berlari dengan wajah yang tak bisa kutebak, ia marah atau ia khawatir. "Apa yang kau lakukan disini!" tentu saja ia berteriak padaku. Lorong rumah sakit yang sepi, semakin membuatku nyaliku menciut. "Aku.." tak bisa berkata-kata. "Apa tempat ini terlihat seperti supermarket?" tanya Zino. Tangan besarnya mencengkram tanganku, menyeretku ke luar rumah sakit.
"Zino sakit.." eluhku, mencoba melepaskan genggaman tangan Zino. "Masuk.." kulihat wajah Zino yang begitu marah, membuatku takut dan langsung memasuki mobil. Sesampainya dirumah tentu saja Zino memarahiku atas perbuatanku yang menipu dirinya. Aku mencoba menjelaskan dengan tidak membawa-bawa perihal tes kehamilanku dirumah sakit.
Mengingat hari itu membuatku semakin mempercepat langkahku. Jam di dinding menunjukkan pukul tujuh malam, tentu saja Zino belum pulang dari kantor. Aku terduduk di ruang tamu, sembair menatap kaca yang menampakkan langit yang gelap. Banyak hal yang kupikirkan hari ini, sebagian besar tentang perasaanku kepada Zino. Dalam hatiku, aku mulai menyadari kemungkinan bahwa memang aku jatuh cinta padanya. Rasa menggelitik perut, hingga jantung yang beredup kencang setiap menatap matanya, selalu kurasakan. Tetapi disaat yang bersamaan pula, kenyataan hidup ini seperti menampar diriku yang terlalu berkhayal.
KAMU SEDANG MEMBACA
HATE OR LOVE (Love is Complicated)
Roman d'amour"Aku tidak pernah mengenal Cinta, sampai aku mengenal dirinya." - Lisa Mazoe "Benci, mungkin itu yang bisa menjelaskan perasaanku padanya." - Rezino Willins Lisa Mazoe lugu dengan hati yang begitu polos harus menerima kenyataan untuk dinikai dengan...