Aku melihat kearah sumber suara, disanalahh Arvin berdiri dengan troli di hadapannya. "Hei Arvin.." aku berlari kearah Arvin dan memeluknya. Jujur saja, aku rindu sekali padanya, karena sudah jarang bertemu. "Apa kabar?" tanyaku. "Baik.." Arvin, kami sudah menjadi sahabat entah sejak kapan. Kulihat ada sedikit perubahan padanya, ia terlihat lebih kurus. "Kau kurusan.." ujarku, Arvin hanya tertawa. "dan kau semakin gemuk setelah menikah." saut Arvin yang tiba-tiba membuatku tersadar bahwa aku tengah bersama Zino. Aku menoleh melihat Zino yang sedari tadi memperhatikanku dengan Arvin."Arvin, aku kesini sama Zino." sautku, Arvin kemudian menyalami Zino. Seketika aku merasa begitu kikuk, bertemu Arvin sangat membuatku senang, tapi.. Tadi sepertinya aku terlalu berlebihan dengan berlari dan memeluk Arvin. Sekarang aku takut, apakah Zino akan marah?
"Jadi kalian tinggal didekat sini?" tanya Arvin. Seketika sebetulnya aku bingun harus menjawab apa, karena aku belum memberitahukan mereka tempat aku tinggal sekarang. "Iya." jawab Zino singkat. "Dimana? Lisa belum memberitahu kami tempat dimana kalian tinggal." ujar Arvin. "Di Sanoria." jawab Zino. "Wow, seleramu boleh juga. Itu apartemen yang paling mahal dikawasan ini kan." Arvin tertawa, kemudian menatapku dan kubalas dengan senyuman. "Hei bagaimana kalau besok kami berkunjung, kau tahu Lisa dari kemarin Aurel merengek ingin bertemu denganmu. Padahal senin kita sudah masuk kuliah." tanya Arvin yang tentu saja membuatku diam tak bisa menjawab. Aku memalingkan pandanganku pada Zino dan sepertinya Arvin menyadari hal tersebut. "Ayolah bro, setidaknya kami ingin bersenang-senang sebelum masuk kuliah, tidak akan lama." ujar Arvin sembari menepuk pundak Zino yang membuatku jadi khawatir.
Sebetulnya aku tidak berharap banyak, karena kemungkinan besar Zino tidak akan memperbolehkannya. "Datang saja, bilang ingin bertemu denganku." jawab Zino yang sungguh membuatku terkejut. Usai berbincang sebentar, Arvin izin untuk pergi duluan karena temannya sudah menunggu di mobil. Tidak lama setelah itu aku dan Zino kekasir dan pulang. Selama perjalanan tidak ada percakapan yang terjadi. Zino hanya menanyakan aku ingin beli apa lagi, aku jawab tidak ada.
Sesampainya di apartemen, aku mulai merapihkan belanjaan dan Zino merapihkan buku-buku di perpustakaan. Selang tiga puluh menit Zino keluar dari perpustakaan dan menyalakan televisi. Aku memotong beberapa buah apel, kemudian letetakkannya di meja tepat dihadapan Zino. Aku duduk di sofa lain sembari memperhatikan tayangan televisi yang Zino buka. Zino menusuk potongan apel dengan garpu kemudian memakannya. "Benar tidak apa-apa teman-temanku besok kesini?" tanyaku. Zino hanya menjawab dengan mengangguk, tidak memalingkan wajahnya dari layar televisi. "Kalau mereka mengajakku keluar boleh?" tanyaku lagi. Zino memalingkan wajahnya menatapku kemudian menghela nafas. "Pergilah, kau sudah lama kan tidak bertemu mereka." jawab Zino.
Zino memang bukan orang yang mudah ditebak, terkadang ia begitu dingin dan ketus. Tetapi disatu sisi kadang ia menunjukkan sisi baiknya yang membuat aku semakin sulit mengerti. Aku memperhatikan Zino yang sedari tadi masih fokus melahap apel sambil menonton televisi. "Kenapa melihatku terus? sudah kubilang boleh." ujar Zino membuatku terkejut. Rasanya malu sekali, kedapatan memperhatikannya. "Tidak, tidak papa." Aku memalingkan wajahku kearah televisi. Kulihat jam didinding menunjukkan pukul dua belas, aku belum sempat memasak untuk makan siang. "Sudah jam dua belas, kamu ingin makan apa?" tanyaku pada Zino. Zino mengalihkan pandangannya, melihat jam didinding yang menunjukkan pukul dua belas siang. "Pesan saja, tidak usah masak." ucap Zino.
Hari ini sepertinya suasana hati Zino tengah baik, walaupun tadi malam jelas sekali bahwa ia terlihat lelah dan kesal. Tapi Zino jarang sekali mau untuk memesan makanan. "Mau pesan apa?" tanya Zino. "Aku ikut saja, kamu yang pilih." jawabku. Aku membawa piring yang ternyata isinya sudah habis dimakan Zino. Satu jam kemudian, bel apartemen berbunyi. Zino bangun dari sofa menuju pintu dan kembali membawa box pesanan. Zino meletakkan makanan di meja makan dan membuka nya. "Ini makan." ujar Zino.
KAMU SEDANG MEMBACA
HATE OR LOVE (Love is Complicated)
Romance"Aku tidak pernah mengenal Cinta, sampai aku mengenal dirinya." - Lisa Mazoe "Benci, mungkin itu yang bisa menjelaskan perasaanku padanya." - Rezino Willins Lisa Mazoe lugu dengan hati yang begitu polos harus menerima kenyataan untuk dinikai dengan...