31. Biar Aku yang Menyelesaikan

1.7K 49 9
                                    

Usai meluapkan emosi yang sudah lama kupendam, aku berlari menuju kamar dan mengunci pintu kamar rapat-rapat. Tentu saja semua yang kulakukan tadi benar-benar menguras seluruh tenagaku. Tak lama aku mendengar suara mobil menyala meninggalkan rumah. Air mataku terjatuh seiring kekesalan yang semakin kurasakan. "Lisa ini Ibu." suara Ibu terdengar didepan pintu kamarku. Aku tidak bergeming, terus bungkam menahan sakit diatas ranjang yang mulai terasa seperti memelukku. 

Matahari mulai terbenam, perutku mulai terasa lapar. Sedari tadi pagi aku belum memakan apapun, nafsu makanku hilang. Seketika aku tersadar dan berlari menuju dapur. Disana Ibu dengan wajah khawatirnya tengah berbicara dengan Ayah. "Lisa mau makan." seruku yang baru sadar akal. Dengan cepat ibu menyiapkan makanan untukku. "Maafkan Lisa, harusnya sedari tadi Lisa sadar."ucapku. "Tidak papa, makan sayang."Ibu menyodorkanku beberapa lauk makanan.

Nafsu makanku memang belum kembali, tapi aku tidak perduli karena bukan aku yang merasakan lapar tapi anakku. Bodohnya aku seharian ini hanya menangis dan tertidur didalam kamar seperti anak remaja yang habis ditolak orang yang dicintai. "Pelan pelan saja."seru Ayah yang sepertinya tidak tenang melihatku melahap makanan dengan cukup cepat. 

"Dimana yang lain?"tanyaku. "Mereka sudah pulang, besok mereka kan harus kuliah." Aku hanya mengagguk mendengar ucapan Ibu. Rasa bersalah karena bersikap kekanak-kanakan sangat menggangguku. Mungkin aku akan meminta maaf kepada mereka nanti. 

***

Sudah lima hari sejak kedatangan Ibu Patricia dan Zino. Hari-hariku semakin nyaman dan menyenangkan disini. Setiap pagi aku akan menyirami tanaman dan berkebun bersama Ayah. Ibu akan membuatkan roti kering dan teh sebagai sarapan pagi dan membantuku merawat daun-daun bunga mawar. Aku merasa begitu bahagia, nyaman dan aman.   

Usai berusan dengan tanaman kami akan makan siang bersama. Kemudian setelah makan siang aku akan sibuk dengan tugas kuliahku dan riset yang kulakukan. Belakangan ini aku banyak mempelajari hal-hal tentang kehamilan. Mulai dari makanan, olahraga untuk Ibu hamil, hingga susu yang tepat. Saking perhatiannya diriku tentang hal tersebut, aku selalu memaksa Ibu untuk pergi kepasar setiap aku ingin mencoba resep jus ataupun makanan. 

Begitu juga dengan hari ini, usai makan siang aku melangkah menaiki tangga menuju kamarku. Tapi sesuatu menghentikanku, ketika aku mendengar suara mobil memasuki halaman. Ayah dan Ibu masih sibuk di taman belakang, entah apa yang mereka lakukan. Jadi aku berjalan menuju pintu depan dan sedikit mengintip melihat siapa yang datang. Mobilnya terlihat asing, kutunggu beberapa detik orang didalam mobil tidak keluar juga. 

Aku membuka pintu dan memperhatikan mobil tersebut dari depan pintu. Kacanya terlalu gelap untuk melihat siapa yang ada didalam sana, ditambah lagi cahaya matahari yang memantul dari kacanya. Seseorang membuka pintu mobil dan aku tidak terkejut sama sekali siapa yang keluar dari mobil itu. Peter berjalan mendekatiku dengan membawakan dua box berwarna biru dan hijau. Sepanjang langkahnya dia terus memberikan senyuman kepadaku. 

"Kenapa lagi kamu kesini."ucapku dengan ketus. Peter memunculkan muka masam yang dibuat-buat. "Jangan seperti itu, kamu jadi semakin tua tahu."ucapnya, membuatku kesal mendengarnya. Peter mengarahkan box yang ia bawa padaku. "Apa ini?"tanyaku. "Buka saja." Aku membuka box pertama yang berisikan gaun yang kukenakan dihari pertengkaranku dengan Zino. Hari dimana Peter menculikku dan membuat semuanya menjadi kacau. "Untuk apa kamu berikan ini padaku?"tanyaku. "Aku hanya tidak suka melihat gaun ini dilemariku, terserah ingin kamu apakan." jawab Peter. Aku mengambil box berwarna biru yang berisikan gaun, melangkah menuju tempat sampah dan membuangnya. "Wah, kamu bahkan tidak memberikan gaun itu kesempatan kedua untuk dikenakan."ucap Peter sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Lalu ini apa?"tanyaku lagi, tidak perduli dengan respon yang Peter berikan.

Aku membuka box berwarna hijau dan menemukan skin care khusus Ibu hamil yang belakangan ini kugunakan. Selain itu ada susu yang kuminum setiap paginya. "Dari mana kamu tahu aku menggunakan ini?"tanyaku. "Jadi kamu menggunakannya? wah, kukira dibuang."ucap Peter, membuatku mengerutkan kening. "Lisa, siapa?"tanya Ayah, yang kemudian melihat Peter berdiri dihadapanku. "Kamu lagi."ucap Ayah. "Halo Om."sapa Peter dengan sumringah. "Jangan-jangan, skin care dan susu yang Ayah belikan, dia yang kasih?"tanyaku. Ayah mengangguk dengan kikuk, membuatku menghela nafas jengah. 

"Ambil, aku bisa beli sendiri."ucapku, menghentakkan box itu dengan keras ke dada Peter. "Hei, skin care ini limited edition, kamu tahu itu. Sulit sekali mendapatkannya, bahwakn untuk orang sepertiku."ucap Peter membuatku semakin kesal. Sebetulnya benar yang dia katakan, aku mungkin tidak akan mendapatkannya lagi. Dengan kesal aku mengambil box yang berada di tangan Peter, mungkin dia merasa menang sekarang.

"Pulang sana."ucapku dan berbalik memasuki rumah. Tapi ternyata itu tidak membuatnya takut, bahkan sekarang dia mengekoriku memasuki rumah. Ibu cukup terkejut melihat Peter memasuki rumah. Tapi Peter, tetaplah Peter. Dia menyapa Ibu dengan sopan seperti bisanya. "Apa kamu lapar?"tanya Ayah pada Peter yang membuatku sungguh terheran -heran. Ada apa sebetulnya diantara mereka berdua, kenapa tiba-tiba seperti teman akrab. "Belum, perjalan kesini cukup jauh, perutku sekarang lapar."jawab Peter, yang membuatku semakin tidak percaya lagi.

"Kamu bisa beli makanan diluar, banyak restoran kok walaupun ini kota kecil."ucapku. "Lisa jangan seperti itu, tidak baik. Dia juga tamu dirumah ini."Protes Ayah membuatku semakin semakin bingung. "Bu, siapkan makan untuk Peter."sambung Ayah. Ibu terlihat cukup bingung tapi malah menuruti permintaan Ayah. Peter dengan santainya duduk dimeja makan, membuatku bingung dan menggelengkan kepala. 

"Kamu sudah makan Lisa?"tanya Peter, dengan kesal aku mengabaikannya dan menaiki tangga menuju kamar. Aku tidak mengerti mengapa Peter mengunjungiku hanya untuk memberikan produk-produk ini. Tunggu, apa dia sedang merayu Ayah dan Ibu. Apa dia masih menyukaiku. Ahh tidak tidak, itu tidak mungkin. Tapi kan terakhir kali dia meminta untuk menjadi Ayah dari anakku. AH tidak tidak, Peter kan memang sudah gila. 

Tapi tunggu, ada sesuatu yang ingin kutanyakan padanya. Perihal informasi terkait kehamilanku. Hari itu dia yang memberitahuku bahwa aku tengah hamil. Sedangkan aku yakin dia bahkan tidak tahu soal haasil pemeriksaanku pertama kali. Walaupun memang gosip aku pergi kerumah sakit untuk mengecek kehamilan seorang diri itu benar. Tapi bagaimana mungkin dia tahu soal itu. Dengan cepat aku berjalan menuruni tangga dan membuat semua orang meneriakiku untuk pelan-pelan. 

"Ada yang ingin kubicarakan denganmu?"tanyaku, Peter hanya menatapku bingung dengan mulut penuh makanan. Dia hanya mengangguk dan mengangkat tangannya yang masih memegang sendok dan garpu. "Baiklah-baiklah, habiskan."sambungku kesal. 

Peter memposisikan duduknya di sofa ruang tamu, setelah kusuruh makan cepat-cepat. "Ada apa?"tanya Peter. "Hari itu, soal kamu yang mengatakan soal aku hamil. Bagaimana kamu tahu kalau aku hamil?"tanyaku pada Peter. Raut wajahnya terlihat seperti bingung harus menjawab apa. "Kuhomon jawab dengan jujur." Peter manatapku dan mengusap wajahnya seperti bingung harus mengatakan apa. "Dokter itu berbohong, soal hasil tes kehamilanmu."ucap Peter. "Dokter yang pertama kali kutemui untuk tes kehamilan?"tanyaku memastikan. Peter mengangguk sebagai jawaban, tentu saja aku bingung dengan jawaban tersebut.

"Apa maksudnya dengan berbohong." tanyaku lagi. "Ya, seseorang membayarnya untuk memalsukan kehamilanmu." ucap Peter, aku masih terdiam memperhatikannya menunggu kelanjutan dari penjelasannya. "Seseorang ingin melukaimu setelah itu, tapi sepertinya dia tidak berhasil. Aku tidak tahu kapan pastinya dia berusaha menyakitimu, tapi kamu baik-baik saja."lanjut Peter. "Siapa orang itu?"tanyaku lagi. "Aku tidak tahu. Aku sudah berusaha mencari tahu, tapi dokter itu melarikan diri dan aku tidak tahu dimana dia sekarang."jawab Peter.

"Kamu harus berhati-hati, mungkin saja dia masih berusaha untuk membuatmu celaka."lanjut Peter. "Apa itu Lidia?"tanyaku dan ekspresi Peter seperti terkejut. "Tidak, dia bukan orang yang seperti itu. Walaupun dia mencintai Zino, dia tidak akan melakukan hal-hal seperti itu."mendengar pembelaan Peter, membuatku bingung. "Kenapa tidak mungkin, dia ingin Zino sepenuhnya menjadi miliknya." Peter mengusap wajahnya frustasi melihat responku yang terus menuduh Lidia lah pelakunya. 

Aku tidak tahu, hanya saja begitu mencurigainya. "Aku sudah mencari tahu, itu bukan dia. Lidia mati-matian membelamu setelah mendengar dirimu hamil. Itu bukan dia." mendengar ucapan Peter membuatku jadi semakin bingung. Membela, untuk apa wanita itu membelaku. Dia adalah musuhku dalam permasalahan ini, kenapa dia membelaku. "Sudah kamu tidak perlu terlalu memikirkannya, aku akan menjagamu. Persoalan siapa pelakunya, biar aku yang menyelesaikannya, oke?" 

***

HATE OR LOVE (Love is Complicated)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang