12. Hak dan Kewajiban

2.2K 55 4
                                    

Peter POV

Kabar Lidia yang masuk rumah sakit mengejutkan banyak orang, termasuk diriku. Aku tidak perduli persoalan Lidia, tapi aku tahu siapa yang perduli. Sekertaris Lidia bilang bahwa Zino sulit untuk dihibungi, maka dari itu dia memintaku untuk mencari keberadaan Zino. Dikarenakan Lidia terus saja memanggil nama Zino. Lidia mengalami kecelakaan mobil di luar jalur tol kota. Tentu saja aku tahu keberadaan Zino, dia tengah berlibur bersama keluarganya di luar kota. Akan sangat sulit menghubungi Zino yang tengah berada di luar kota. 

Akupun memutuskan untuk menghapiri Zino di resort keluarganya. Sesampainya disana, kulihat Lisa berlari sambil menangis kearah pantai. Tanpa kusadari aku mengikutinya, Lisa terus berjalan menyusuri pantai sembari menangis. Rasanya ingin sekali menenangkan Lisa, tapi aku tidak bisa melakukannya. "Dia bukan milikmu Peter"

Berulang-ulang kali aku berusaha meyakinkan diriku untuk menahan semua perasaan aneh ini. Sudah hampir tiga puluh menit Lisa berjalan menelusuri pantai sambil menangis. Aku hanya mengikutinya, sampai akhirnya dia terduduk diatas pasir sambil memukuli pasir itu. Udara semakin terasa dingin, ditambah angin yang bertiup cukup kencang. Aku melepaskan jas ku, kemudian menyelimuti tubuh Lisa yang hanya mengenakan kaos polos yang tidak tebal. Lisa menoleh dan menatapku bingung. Dengan cepat ia berusaha mengusap air matanya dan membersihkan dirinya dari pasir. Imutnya..

"Bagaimana... kok bisa disini?" tanya Lisa yang masih sibuk membersihkan tangannya dari pasir. Aku menjelaskan pada Lisa tentang  keberadaanku, tanpa kusadari sedari tadi kami bercakap-cakap. Sampai akhirnya aku mulai menanyakan bagaimana perasaannya, tentang semua kebodohan ini. Pernikahannya dengan Zino dan Lidia..

Aku sudah tidak bisa menutupi semuanya lagi, walaupun Zino mengancamku. Tidak, Lisa pantas mengetahui semuanya. Mengetahui bagaimana Zino mengenalnya sejak dibangku sekolah. Bagaimana aku dan Zino memperhatikan Lisa dan kehidupannya. Aku ingin Lisa tahu bahwa Zino tak pantas untuknya dan Zino tidak akan memperlakukan Lisa dengan baik. 

Tapi kenyataanya selalu ada halangan untukku mengungkapkan semuanya. Tak selang berapa lama, Zino menemukan kami. Masih dengan keangkuhan dan sifat bajingannya itu. Bahkan dia membentak Lisa dihadapanku. Rasanya ingin sekali melayangkan pukulan diwajahnya itu. Tapi sekarang tidak lagi, aku sungguh-sungguh. Jika Zino masih terus menyakiti Lisa, aku tidak akan tinggal diam lagi, Tidak.

***

Zino POV

Hari ini benar-benar kacau, membuat kepalaku rasanya seperti ingin meledak. Lidia yang terbaring dirumah sakit, Peter yang mulai mencampuri rumah tanggaku dan wanita yang terus menerus membuatku muak. Bukannya aku ingin menyembunyikan semua kenyataan dari Lisa, tapi hanya saja ia tak pantas mengetahui masa laluku. Aku sangat tidak ingin dia mengusik kehidupan masa laluku atau bahkan sekedar mengetahuinya. Kehadirannya sudah cukup mengusik kehidupanku, aku tak ingin membagi masalalu dengannya. Hal itu hanya akan membebaniku dan menyulitkanku saja. 

Peter kian hari semakin sering menampakkan diri di hadapan Lisa. Aku sudah tahu sejak awal ia ingin merebut Lisa dariku. Sungguh akan dengan senang hati kuberikan Lisa padanya. Tapi Ayah dan Ibu pasti tidak akan senang dengan hal itu. Arrgghh... 

Lidia semakin menjauh sejak pernikahanku dengan Lisa. Bukan, bukan Lidia yang menjauh tapi orang tua Lidia menjauhkan kami berdua. Ayah Lidia tidak ingin anaknya menjadi bahan omongan sebagai pengganggu hubungan rumah tangga orang lain. Tentu saja aku juga tak ingin Lidia seperti itu, tapi kami saling mencintai. 

Sedari tadi aku berusaha terus menerus menghubungi ponsel Lidia, tapi tidak ada jawaban. Sekertaris Lidia juga sedari tadi mengabaikan telfonku. Semua ini membuatku semakin frustasi. Aku minggalkan Lisa sendirian dikamar, aku tidak perduli. Bahkan kalau Peter sekarang masuk kekamar dan berduaan dengannya akan lebih mudah bagiku, untuk menceraikan Lisa. 

***

Lisa POV

Aku tidak bisa tidur, sedari tadi terus mengkhawatirkan Zino yang tak kunjung muncul. Ponselnya pun tidak mengangkat telfon atau membalas pesanku. Tanpa kusadari matahari pun mulai muncul, aku terjaga sepanjang malam menunggu Zino. Pintu kamar terbuka, menampilkan Zino dalam keadaan mabuk. "Ya Tuhan, Zino kau mabuk?" tanyaku. Zino berjalan kearah ranjang dengan sempoyongan. "Biar ku bantu," tentu saja Zino menepis tanganku yang ingin membantunya berjalan. "Menjauhlah.." gumam Zino. 

Aku berjalan mundur satu langkah, mencoba menjaga jarak. Zino tergeletak di ranjang, kulihat pasir masih mengotori bajunya. Ragu ingin mendekat, tapi kuberanikan diri untuk memberishkan pasir yang menempel di bajunya Zino. Mata Zino terbuka, menatapku dalam diam. Matanya yang tajam namun indah itu menatapku, tangan Zino memegang tanganku dengan begitu erat. Rasa nyeri mulai kurasakan dari genggaman tangan Zino. "Zino sakit.." eluhku, mencoba melepaskan genggaman tangan Zino. 

Zino diam tidak menggubris, masih tetap menggenggam tanganku. Bruk.. Zino membalikan posisi,  kini aku berada tepat dibawah Zino. Aku terdiam mematung, saat mendapati Zino memperhatikanku dengan tajam. "Aku belum mencicipimu bukan?" pertanyaan Zino seketika membuat tubuhku menegang. Apa maksud ucapannya? apakah maksudnya soal berhubungan badan?  

"Zino kau mabuk?" gumamku, tentu saja itu kenyataannya. Aku tidak ingin melakukan ini dalam keadaan Zino yang mabuk seperti ini. Kedua tanganku masih di tahan olehnya, genggaman Zino begitu kencang. "Ya memang aku mabuk, kenapa? kau tidak ingin menenuhi kewajibanmu?" pertanyaan Zino membuatku diam dan mematung. Aku tak tahu harus menjawab seperti apa, aku takut. "Ini hakku dan tentu saja kewajibanmu sebagai seorang istri. Agar kau semakin tahu diri untuk tidak mendekati laki-laki lain." belum sempat aku menjawab ucapan Zino, dia sudah melumat bibirku. Aku terkejut tentu saja, dan diam seribu bahasa. Zino terus melumat bibirku, aku tidak membalas ciumannya. 

Tapi air mataku terjatuh, rasa manis ciuman pertamaku, tidak seperti ini. Zino melepaskan genggaman tanganku dan mulai menyentuh setiap inci bagian tubuhku. Rasa panas seketika menjalar disekujur tubuhku, sentuhan Zino. Entah perasaan seperti apa ini, tapi rasanya seperti ada sesuatu yang aneh pada tubuhku. Zino mencium setiap inci leherku dengan lembut, membuatku semakin merasa tidak karuan. 

Zino melepas kaos yang ia kenakan, kemudian merobek kaos yang ku kenakan. Benar, merobeknya membuatku sangat terkejut. Zino kembali melumat bibirku, kali ini lebih dari sebelumnya. Zino menyentuh payudaraku, sentuhannya membuat badanku bereaksi. Sedari tadi aku hanya bisa memejamakan mataku, mencoba untuk mengontrol diriku sendiri. Apakah ini sesuatu yang benar untuk dilakukan? apakah aku memenuhi kewajibanku? 

Kurasakan sesuatu menyentuh kemaluanku dan mengelusnya dengan lembut. Aku tak mengerti rasa apa ini, tubuhku seperti benar-benar tak bisa kukendalikan. Aku menggigit bibir bawahku, ketika Zino terus menyentuh payudaraku dengan bibirnya. Aku ingin menolak tapi tidak dengan tubuhku. Aku ingin menangis, begitu bingung harus melakukan apa.

Zino kembali melumat bibirku, saat itu juga kusadari ada sesuatu yang memaksa untuk masuk dibawah sana. Zino menahan kedua tanganku, tapi terus melumat bibirku. Rasa nyeri menggerayangi tubuhku, sakit. Aku rasanya ingin sekali berteriak, tapi tidak bisa karena Zino melumat bibirku. Tanganku menggenggam dengan kencang, karena rasanya sakit. Zino menatap wajahku yang sudah tidak karuan. Sedari tadi aku menangis dalam diam, keringat membasahi tubuhku. "Kau itu milikku." itulah yang ia katakan sebelum akhirnya melanjutkan semua kegiatannya. Rasa nikmat yang tekpernah kurasakan sebelumnya.

Tubuhku seakan sudah mengerti apa yang harus dilakukan, aku menerima semuanya. Rasa nikmat yang tak bisa kujelaskan, tanpa kusadari membuatku mengeluarkan suara desahan yang membuat Zino semakin mempercepat iramanya. Baiklah, aku milikmu. 

---

Sinar matahari menyeruak dari sisi kain yang menutupi jendela mengganggu tidurku. Kepalaku sedikit terasa pusing. Sesuatu menahan posisi badanku yang menghadap kearah jendela. Kulihat tangan memelukku dari belakang. Aku berusaha memposisikan diri sepelan mungkin untuk bergerak. Disanalah kulihat Zino tertidur dengan lelap, begitu tampan. Kuperhatikan setiap inci wajahnya, sungguh idah. Bulu matanya yang lentik, alis nya yang begitu tebal, hidungnya yang mancung dan bibirnya... seketika aku teringat tentang apa yang terjadi tadi malam. Entah mengapa rasanya senang dan sedih disaat yang bersamaan. 


HATE OR LOVE (Love is Complicated)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang