37. Tujuh Bulan

1.9K 54 3
                                    

Aku dan Peter mulai menjelaskan setiap kejadian demi kejadian yang membuat kami curiga tentang kemungkinan adanya seseorang yang ingin aku celaka. Tentu saja semua orang marah dan kesal mendengarnya, tapi aku lebih takut dari pada mereka. Aku takut kalau mereka sebetulnya bukan mengincar diriku, tapi bayi yang ada dalam kandunganku. 

Selama hujan dan lampu padam, tidak ada yang terjadi. Matahari mulai bersinar dan memasuki cela tirai yang menutupi kaca. Lampu masih padam, mungkin karena hujan merusak saluran listrik kami tidak tahu. 

Tapi yang ku tahu semalaman Peter dan Arvin terjaga bergantian agar kami tetap aman. Mungkin hanya terlalu khawatir, tapi tidak terjadi apa-apa.

**

Siang hari kami memutuskan untuk pulang kerumah. Perjalanan begitu mulus tidak ada hambatan. Sisi kota masih berbau tanah dan rumput dan air. Tadi malam memang hujan turun dengan begitu deras, sedikit membuatku khawatir tentang ombak dan banyak hal. Arvin, Ninda dan Aurel berada dalam satu mobil. 

Sedangkan aku tetap satu mobil dengan Peter. Tadinya Aurel memaksa ingin dimobilku, tapi karena Arvin terlalu mengantuk dan Ninda tidak bisa membawa mobil sepertiku, jadinya dia harus bergantian dengan Arvin. 

Sedikit canggung rasanya berdua dengan Peter didalam mobil, setelah apa yang terjadi kemarin. Yap, aku tetap masih ingat apa yang terjadi di pantai, tentang ciuman itu. Walaupun sepertinya Peter bersikap biasa saja dan tenang seperti biasanya. Sesekali aku ketahuan memperhatikannya dan membuat dia bertanya-tanya kenapa memperhatikannya seperti itu. 

Aku hanya menggeleng dan menjawab tidak, tentu saja tidak ingin dia mengerti tentang apa yang tengah ku perhatikan. Semua ini terus saja membuat perasaan ku semakin campur aduk. Aku merasa bersalah dan berdosa dalam satu sisi karena membiarkan Peter menciumku. Tapi disisi lain, hanya Peter yang sejauh ini bisa membuatku melupakan Zino. 

**

"Aku akan berkunjung setiap minggu. Katakan saja apa yang kamu butuhkan yang mungkin tidak ada dikota." ucap Peter yang masih serius menggendarai mobil. "Kenapa? maksudku kenapa kamu harus setiap minggu mengunjungiku." ucapku. Peter mengerutkan keningnya mendengar responku.

Astaga sekarang aku merasa seperti anak remaja yang sedang menarik ulur perasaan orang lain. "Memangnya tidak boleh ya?" tanya Peter. Aku memalingkan wajahku ke kaca, mencoba untuk tenang dan tidak membuat wajah yang malu. "Boleh, hanya saja kau tidak perlu repot-repot." jawabku tanpa menatap Peter sama sekali.

"Oke, tapi aku ingin mengunjungimu setiap hari. Supaya kamu tetap aman dan aku merasa lebih tenang." sungguh aku terharu dan merasa tersentuh dengan ungkapan Peter. Walaupun aku berusaha menolak untuk tetap teguh dan tidak menjadi wanita yang mudah tergoda. 

Tapi sulit, apa yang Peter lakukan untukku itu tulus bukan, iya kan. 

**

Setelah itu aku tidak mengatakan apapun dan memutuskan untuk terlelap dimobil. Aku merasakan geronjal batu yang menghantam ban mobil dan terbangun sedikit terkejut. "Maaf." ucap Peter yang sepertinya sadar aku terkejut dan terbangun dari tidurku. 

Kulihat jalanan yang ternyata sudah berada di depan halaman rumah. Ibu dan Ayah melambaikan tangan pada kami saat mobil memasuki halaman rumah. "Hai, sayang. Bagaimana liburannya?" tanya Ibu sembari memelukku. "Menyenangkan." jawabku. 

Peter dan Arvin menurunkan beberapa barang dan membawanya ke gudang. Sementara Ibu mengajakku, Ninda dan Arvin untuk menyiapkan makan siang. Tak berapa lama makanan sudah siap diatas meja makan. Arvin, Peter dan Ayah terlihat memasuki rumah dari pintu belakang sembari tertawa bersama. Entah apa yang mereka tertawakan. 

HATE OR LOVE (Love is Complicated)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang