M 1

34.8K 3.1K 220
                                    

Ekhem.

Sebelum baca klik bintang di pojok bawah dulu ok.


Happy reading 🌱

FLASHBACK ON

"Duduk Syila, ada yang mau Umi tanyakan!" Nyai Arofah menunjuk sebuah kursi kosong di dekatnya dengan dagunya. 

Ning Syila mempunyai firasat tidak enak mengenai ini. Karena sikap mereka yang terlihat sangat tegang. Ia memutar langkahnya, melewati bagian belakang kursi yang ditempati oleh Kyai Kholil dan Kyai Ramdan. Lalu duduk di tempat yang telah ditunjuk oleh Nyai Arofah. 

Nyai Arofah mencoba mengambil nafas lalu membuangnya perlahan.

"Syila, jawab pertanyaan Umi dengan jujur! Apa yang sebenarnya terjadi antara Fahmi, Ana dan Azmi?"

Ning Syila terbelalak. Apa yang terjadi sekarang? Kenapa orang tuanya berkumpul dan menanyakan hal ini padanya? Apa mereka sudah mengetahui sesuatu tentang Fahmi dan Ana? Itulah sederet pertanyaan yang ada di hatinya.

"Dijawab saja, Ning! Ndak papa, asal jujur!" Nyai Halimah meminta dengan harap saat mata Ning Syila beralih menatapnya.

Ning Syila menghela nafas, lalu mengeluarkan buku sketsa milik Ana yang tadi sempat ia bawa. Perlahan, ia menyerahkan buku itu pada uminya. Membiarkan suasana yang mulai sangat tegang sejenak.

Nyai Arofah berkali-kali mengerutkan keningnya seraya menghela nafas tak percaya. Nyai Halimah yang sangat ingin tahu, bangkit dan mendekat ke samping Nyai Arofah. Melihat, bahkan membaca setiap detail dari gambar dan tulisan yang ada di sana.

"Astaghfirullah...!" Nyai Arofah dan Nyai Halimah mengucap istighfar bersamaan. Mata Nyai Arofah terpejam, mencoba menenangkan diri. Sementara Nyai Halimah beranjak ke pojokan. Mengusap air mata di sudut matanya.

Kyai Kholil dan Kyai Ramdan ikut penasaran. Kyai Ramdan yang duduk di dekat Nyai Arofah lantas mengambil buku dari tangan istrinya. Membuka lembar demi lembar, lalu menyerahkannya pada Kyai Kholil agar melihatnya sendiri.

"Sebenarnya, Fahmi sudah melamar Ana lebih dulu, Umi!" Ning Syila membuka suara saat suasana hening, tak nyaman.

"Apa maksud kamu?" Nyai Arofah makin tak mengerti.

Belum lagi ia lepas dari rasa bersalah pada Ana, sekarang sudah ditambah dengan rasa bersalah yang lain pada Gus Fahmi.

"Ana sempet cerita, kalau Fahmi sudah pernah memintanya untuk menikah. Surat-surat Fahmi juga sudah Syila baca sendiri. Tapi.." Ning Syila diam sejenak. Mencari kata yang tepat untuk penjelasannya. 

Semua yang ada di sana, diam menyimak. Lebih tepatnya menunggu lanjutan dari cerita Ning Syila.

"Ana tidak menolak. Dia hanya bilang, ingin memantaskan diri untuk menjadi pendamping seorang Gus seperti Fahmi. Makanya, dia pergi ke pesantren ini. Memperbaiki diri. Dan, gak disangka, ternyata dia kembali dipertemukan dengan Fahmi."
Kyai Kholil mengusap wajahnya. Ada ekspresi yang tak bisa diungkapkan di sana. 

Nyai Arofah sendiri kembali duduk di depan Ning Syila.

"Fahmi juga mengungkit masalah lamaran itu. Karena dari awal, dia memang sudah bilang akan menunggu pada Ana. Tapi, pas Umi nawarin Ana, Syila rasa Ana salah faham. Dia menyangka, Fahmi yang melamar Ana. Makanya Ana langsung setuju, tanpa bertanya siapa calonnya. Salah Syila juga, kenapa sebelumnya Syila tidak mencari tahu dulu. Padahal, sikap Fahmi dan Ana benar-benar berbeda hari itu." Ning Syila menghela nafas penuh sesal.

"Astagfirullahal 'adzim..!" Kyai Ramdan menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Itu berarti, Ana sudah menjadi wanita yang dikhitbah lebih dulu oleh Fahmi. Dan haram hukumnya bagi kita, mengkhitbah wanita yang sudah dikhitbah oleh orang lain. Bagaimana ini bisa terjadi? Apa sebelumnya Umi sudah bertanya pada Ana tentang statusnya?"

MAAF༊*·˚ [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang