M 9

21K 2.6K 656
                                    

Sebagai ganti, kemarin pas nyanpe target malah telat post.

Nih sekarang fast up.

Sebenarnya aku rada sedih gitu liat pembaca gelapnya banyak sekali.

Kali ini janji dah,  1000 vote atau 500 komen bakal up

So? Gampang kan. Kalian tinggal kasi jejak aja 1 orang 1.


Pasti bisa tembus hahaha.


Happy Reading 🌱

“Apa maksud kamu, Aisy?” tanya Gus Azmi.

“Benar, harus kamu pikirkan dulu. Istikhoro paling tidak, Nduk!” Nyai Halimah tampak cemas.

“Kenapa harus istikhoro lagi, Mi? Apa yang sudah datang pada Aisy, bukankah itu berarti jodoh Aisy?”

Kyai Kholil menghela nafas berat. Ia beranjak dari duduknya, lalu berdiri di bingkai pintu kamar Ning Aisy.

“Jangan mengambil keputusan di saat hati kamu sedang emosi, sesungguhnya keputusan itu lebih di dominasi oleh syetan. Jangan hanya karena luka di hati kamu, kamu malah lebih menjerumuskan dirimu ke dalam jurang! Abah ndak ridho.”

Kyai Kholil keluar dari kamar Ning Aisy dengan mengusap bening kristal di sudut matanya.

Nyai Halimah menyerah, ia mengikuti langkah suaminya keluar dari kamar.

Tersisa Gus Azmi yang masih berdiri menatap punggung Ning Aisy. Ia mendekati adik perempuannya, lalu menyentuh pundaknya.

Ning Aisy berbalik, dan langsung merebahkan kepalanya di dada Gus Azmi. Pundaknya naik turun disertai isak yang terdengar pilu. Dua tangannya sudah menutup rapat wajah penuh air mata itu.

Tangan Gus Azmi terangkat, lalu menepuk pelan punggung Ning Aisy. Memberi kekuatan lewat pelukannya. Ia diam tanpa bisa berucap sepatah kata pun. Ia tau luka yang dirasakan adiknya. Luka yang sama-sama ingin mereka lupakan.

ꕥ 𝕄𝕒𝕒𝔽 ꕥ

“Assalamualaikum …!”
Beberapa santri menoleh ke asal suara di bingkai pintu asramanya.

Ana tersenyum sambil melambaikan tangannya.

“Subhanallah … Ana!” Sebagian santri berhambur memeluk Ana setelah menyalaminya. Sebagian lainnya masih diam mematung, kemungkinan mereka adalah santriwati baru di kamar itu.

“Loh, jangan panggil Ana lagi, sekarang udah Ning.” Salah satu santri menegur teman-temannya.

“Oalah iya, harusnya kita cium tangan berarti,” sambut yang lainnya.

“Ah, jangan begitu! Biasa aja, aku masih sama seperti kalian. Masih nyantri.” Ana merendah.

“Nyantrinya tapi bukan di sini, di dhalem,” sambung satu suara yang sangat dikenal Ana.
Lina tiba-tiba saja berdiri di belakangnya. Ana kembali tersenyum, lalu memeluk sahabatnya itu. Tatapan kagum dan segan terpancar dari mata teman-temannya. Mereka berebut meminta Ana untuk menceritakan kisahnya.

“Nanti, kalau aku ada waktu luang, insyaallah aku cerita. Sekarang, aku masih harus ke koperasi sama Lina,” tolak Ana halus.

“Wah, baru nikah sudah punya kegiatan ya?” goda yang lainnya.

“Bukan, ha, ha, kalian bisa aja. Mau belanja keperluan buatku selama di sini.”

“Kenapa gak minta anter Gus Fahmi?” celetuk temannya yang lain.

MAAF༊*·˚ [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang