M 32

15.7K 2.2K 231
                                    


happy Reading 🌱



Mendung menggantung di kaki langit. Bagus menimang ponselnya. Beberapa kali menghela nafas pelan sambil menatap ke luar jendela kamarnya. Nama Naya yang masih tersimpan di ponselnya, kini sudah tak terlihat gambar profilnya. Pesan yang masih centang satu di sana, nyaris tak berubah dari beberapa minggu yang lalu.

Jempolnya mencari nomor kontak lain. Kali ini nama Dian, sahabat Naya yang menjadi targetnya. Lama suara telpon tersambung belum bersambut. Sambungan telpon itu terputus dengan sendirinya. Kembali ia menekan tombol telepon pada Dian.

"Hallo ...!" suara di seberang akhirnya terdengar juga.

"Assalamu'alaikum," ucap Bagus kikuk.

"Wa'alaikumsalam, ada apa, Gus?"

Bagus menundukkan wajahnya, menatap tatanan kerikil yang menjadi pijakan tamannya. Ia menggigit bibirnya, tampak ragu dan menyesal telah menelepon Dian.

"Emh ..., apa sudah ada kabar dari Naya?" tanyanya kemudian.

"Belum, aku juga sudah mencari tahu ke kampus, katanya dia ambil cuti selama satu tahun."

"Setahun?"

"Iya."

"Apa kamu tahu alamatnya di mana?"

"Aku gak tahu, aku hanya tahu kalau dia dari Wonosobo. Dia jarang cerita masalah hidupnya. Terlalu tertutup orangnya."

"Sudah coba tanya sama pihak kampus?"

"Gak diijinin, karena itu rahasia katanya."

Bagus menelan ludahnya.

"Kalian bertengkar?" tanya Dian.

"Nggak."

"Tapi kenapa Naya tiba-tiba menghilang?"

"Mungkin aku yang salah." Bagus lagi-lagi menghela nafasnya.

Terlihat pundaknya yang menyiratkan kesedihan tengah bersandar pada sisi jendela kamar. Bagus tak ambil panjang lebar lagi. Ia menutup telepon dengan salam setelah Dian mengucap maaf karena tak bisa membantunya.

Sebenarnya kamu ke mana, Nay?

Sebegitu terlukanyakah kamu?

Hingga untuk bersilaturrahmi pun kamu putus sepihak saja.

Bagus membatin. Ia tidak mengerti dengan perasaannya kali ini. Rindukah? Bersalahkah? Atau ada rasa lain yang sebenarnya sudah hadir tapi tidak ia sadari.

_Maaf_

Ana langsung mengajak Lina ke dalam untuk berbincang di ruang tengah. Sementara Gus Fahmi mengajak Gus Azmi masuk ke ruang kerjanya. Tampak canggung, namun masih terlukis senyum di bibir keduanya.

Sebelumnya, Ana sudah meminta seorang khadamah untuk membuatkan teh hangat bagi mereka. Lina tersenyum bahagia melihat Ana. Tangan mereka saling menggenggam, seolah sudah tak bertemu lama.

"Wajah Ning Ana kelihatan pucat, Ning baik-baik saja 'kan?" tanya Lina sambil menatap cemas pada Ana.

"Duh, harusnya aku yang panggil kamu, Ning!" Ana sedikit menepuk lengan Lina.

"Serius!" Lina menyentuh kening Ana. Ana menurunkan tangan Lina dari keningnya sambil tersenyum.

"Iya, serius. Begini saja, kalau pas lagi berdua, kita ngobrolnya biasa aja. Tapi kalau di depan keluarga, baru ikut silsilah keluarga." Ana memberi usulan dengan semangat.

MAAF༊*·˚ [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang