Happy reading 🌱
"Kak Fahmi masih tidak mau mendengarkan penjelasan Ana?"
Gus Fahmi masih saja diam. Ada nafas berat yang ia keluarkan perlahan. Begitu juga dengan Ana yang menatapnya dengan wajah penuh penyesalan. Tangan kanannya menyentuh punggung tangan Gus Fahmi, sementara tangan kirinya sibuk mengusap bulir bening dari sudut matanya.
"Ana tahu, Ana salah Kak Fahmi. Ana minta Maaf! Tapi itu karena Ana gak ingin Kak Fahmi khawatir."
Gus Fahmi memalingkan mukanya ke arah lain. Tasbih di tangannya, ia mainkan berulang. Kekesalan dan kekecewaan itu nampak jelas di wajahnya. Ana menarik tangannya dari punggung tangan Gus Fahmi perlahan.
"Kalau begitu, bolehkah Ana pulang ke rumah bunda sementara?"
Ana menggigit bibirnya. Keputusan itu sangat berat, tapi paling tidak itu adalah jalan satu-satunya untuk memberi ruang bagi mereka. Khususnya buat Gus Fahmi yang pasti tidak akan bisa berfikir tenang jika masih harus melihat sumber masalah berada di dekatnya.
"Paling tidak, hingga Kak Fahmi tenang dan mau memaafkan Ana."
Ana melanjutkan kalimatnya dengan membiarkan bulir hangat kembali membentuk parit di pipinya. Ia tak tahu lagi bagaimana caranya untuk membujuk hati Gus Fahmi agar mau mendengarkan penjelasannya terlebih dahulu. Hal yang ia pelajari selama berada di pesantren Al-Hidayah dulu adalah, tidak ada gunanya menjelaskan pada seseorang yang hatinya masih belum siap untuk menerima penjelasan. Itu hanya akan terlihat sebagai sebuah alasan yang dibuat-buat bagi mereka.
Ana bangkit dari duduknya. Melirik amplop yang masih bergeming di tempatnya. Belum tersentuh oleh siapapun. Ia berjalan ke arah nakas, mengambil totebag yang baru dibelinya kemarin.
"Kak Fahmi juga gak mau antar Ana? Setidaknya agar mereka tidak salah faham pada hubungan kita."
Maaf
Ana turun dari mobil Gus Fahmi dengan langkah gontai. Ada luka yang coba ia tutupi saat berdiri di depan pintu rumahnya seraya memencet bel. Asisten rumah tangganya menyembul dari balik pintu.
"Neng Ana?" tanyanya tak percaya dengan senyum lebar.
"Gus Fahmi." Asisten rumah tangga itu juga tak lupa menyapa Gus Fahmi yang berdiri di samping Ana.
"Bunda ada, Bi?" tanya Ana.
"Ndak ada, Neng. Bunda sama Ayah baru tadi pagi berangkat ke Jogja. Kenapa ndak ditelpon saja?"
"Oh, gak pa-pa, Bi! Ana mau nginep di sini sementara. Kangen sama rumah." Ana berbohong.
"Oh, enggeh. Ada barang yang mau di bawa ke dalam, Neng?"
"Gak ada, tolong bawakan air putih untuk kami ya, Bi!" pinta Ana.
Asisten rumah tangga itu segera bergegas ke dalam setelah mengangguk.
"Sebaiknya Ana pulang ke pesantren saja. Ayah dan bunda juga tidak ada di rumah."
Gus Fahmi berbalik, menatap bangku taman tempat ia melamar Ana dulu. Ana menggeleng, lalu mengambil tempat di sebuah kursi yang terbuat dari rotan memanjang. Tempat bersantai ayah dan bundanya jika sore. Biasanya mereka akan menikmati teh bersama di sana, sambil memperhatikan taman rumah Ana yang cukup cantik dirawat.
Asisten rumah tangga Ana datang dengan nampan berisi sebotol air lengkap dengan gelasnya.
"Biar Ana yang beresin, Bibi ke dalam aja, gak pa-pa."
KAMU SEDANG MEMBACA
MAAF༊*·˚ [END]
Teen Fiction[SQUEL OF CINDERELLA PESANTREN] [SUDAH DI TERBITKAN] "Bagaimana jika bukan dia yang merebutnya dariku? Melainkan aku yang merebutnya? Karena sejak awal, memang dialah yang diharapkan berjodoh dengan Kak Fahmi." -Ana. . "Jika islam tidak mengharamkan...