Happy Reading 🌿
Bagus memarkir mobilnya di depan sebuah rumah minimalis berpagar putih. Ia sudah sampai di sebuah desa yang ada di daerah Wonosobo. Kota yang akhir-akhir ini menjadi viral karena munculnya beberapa tempat wisata alam yang masih terjaga keasriannya.
Perjalanan yang hampir seharian itu membuat Bagus cukup merasa lelah, meski sudah beberapa kali berhenti di beberapa rest area. Seorang pemuda berambut ikal keluar dari rumah dengan senyum, seolah menyambut kedatangan Bagus. Ia mengulurkan tangannya sambil mengucap salam, lalu memeluk Bagus sebagai ucapan selamat datang. Dia lah Dika, sahabat saat di pesantren Al-Furqan dulu.
Dua kandidat terkuat yang dulu sempat bersaing untuk mendapatkan beasiswa ke Turki untuk menemani Gus Fahmi. Sayang, Dika tidak bisa mengikuti putaran terakhir karena keluarganya tertimpa musibah yang mengharuskan dia untuk pulang ke Wonosobo.
"Mau istirahat dulu atau mau langsung cek lokasi?" tanyanya.
"Boleh gak, rebahan sebentar?" Bagus sedikit memegangi pinggangnya.
Dika terkekeh pelan, lalu menepuk-nepuk punggung Bagus seraya mengangguk setuju. "Ayo, masuk dulu!" Lekas ia mengajak Bagus untuk masuk ke dalam rumahnya. Rumah type 36 itu tidak terlalu banyak di tempati barang. Saat masuk, sama sekali tidak ada sofa atau kursi di ruang tamu. Hanya ada sebuah karpet berwarna merah, bermotif bunga tergelar di sana. Tatanan air mineral dalam nampan juga ikut menghiasinya di pojok ruangan.
Dika masuk ke salah satu kamar yang letaknya juga tepat di depan ruang tamu. Mengeluarkan bantal untuk Bagus rebahan.
"Kalau mau rebahan di kamar, bisa di sini!" ujarnya sambil menunjuk salah satu kamar di paling depan.
"Di sini saja! sebentar kok." Tanpa canggung, Bagus merebahkan tubuhnya di atas karpet. Dika tersenyum seraya melempar bantal di tangannya. Kebiasaan mereka saat masih nyantri ternyata masih melekat. Bisa tidur di mana saja, bahkan tanpa alas pun mereka bisa berpetualang di dunia mimpi dengan mudah.
"Ini rumah sendiri, Dik?" tanya Bagus sambil mengedarkan pandangannya ke sekitar ruangan yang ditempatinya.
"Alhamdulillah, iya."
"Masyaallah, Alhamdulillah ...! Aku belum punya loh! Hebat kamu!"
"Kamu emang belum rumah, tapi resto udah di mana-mana. Sama aja!" Keduanya tergelak bersama.
"Maaf ya, suguhannya air putih saja. Belum ada yang bisa bikini kopi buat para tamu."
"Makanya, nikah!" Bagus menggoda.
"Kamu dulu, lah! Masa lulusan Turki masih belum nemu jodoh, apalagi aku yang bukan lulusan Turki." Dika membalas dengan lugas.
"Astaghfirullah, makin pinter ni orang!" Bagus menarik tubuhnya untuk duduk bersandar pada tembok.
"Oya, kabar si adek sepupu gimana?" tanya Dika sambil memainkan alisnya. Masih ada nada menggoda di sana.
"Makanya, keluar dari pesantren jangan langsung ngilang!" Bagus meraih air mineral di dekatnya.
"Kenapa? Masih 'kan?" Dika masih tak mengerti.
"Dia sudah jadi Ning sekarang." Bagus menjawab setelah meneguk airnya.
"Oya? Subhanallah ...! Pesantren mana?"
"Al-furqan."
"Jangan becanda!"
"Ngapain becanda."
"Maksud kamu, dia sama Gus Fahmi?"
Bagus mengangguk seraya mengeluarkan ponsel dari sakunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
MAAF༊*·˚ [END]
Teen Fiction[SQUEL OF CINDERELLA PESANTREN] [SUDAH DI TERBITKAN] "Bagaimana jika bukan dia yang merebutnya dariku? Melainkan aku yang merebutnya? Karena sejak awal, memang dialah yang diharapkan berjodoh dengan Kak Fahmi." -Ana. . "Jika islam tidak mengharamkan...