M 49

15.6K 2K 475
                                    

Special hari terakhir PO cetakan ke 2 nih.

Aku kasi full satu part terakhir.

Next part udah sisa setengah ya. Nextnya lagi nggak tau.

Yukk ikutan PO biar bisa baca full.




Happy Reading ...🌱

Gus Fahmi berdiri putus asa di depan pintu rumah Ana. Berbagai macam cara sudah dia lakukan untuk membuat Ana keluar dari dalam rumah. Mulai dari memencet bel, mengetuk pintu, mengucap salam, hingga menelepon nomor rumah berkali-kali. Hanya bunyi dering telepon yang terdengar dari luar, sementara di dalam tidak ada tanda-tanda kehidupan yang tengah berlangsung. Hanya lampu di ruang tengah dan teras yang terlihat menyala, sedangkan ruang tamu dan lainnya gelap.

"Apa terjadi sesuatu padanya?" gumam Gus Fahmi lirih.

Dering ponsel sedikit mengejutkannya. Tertera nama Ning Syila di sana. Lekas ia menekan tombol terima agar tersambung.

"Kamu di mana?" suara di seberang tanpa salam.

"Di rumah Ana, Ning."

"Kita harus ketemu sekarang, aku kirim lokasi ke kamu!"

Gus Fahmi nampak bingung, tidak biasa ning Syila berbahasa aku kamu padanya. Suaranya juga terdengar sedikit emosi. Telepon tertutup juga tanpa salam. Mungkin nanti ia akan kembali ke rumah Ana setelah menemui ning Syila. Lagipula lokasi tempat yang dikirim Ning Syila juga tidak terlalu jauh dari rumah Ana.

Maaf

"Bagaimana kamu bisa tahu kalau Ana dirampok?" tanya Ning Syila pada Bagus.

Mereka duduk berhadapan di samping ranjang Ana. Ana sendiri pun tak bisa berkata-kata lagi saat Ning Syila mulai mengorek sesuatu. Setahu Ana, dalam permasalahan salah dan benar, Ning Syila takkan pernah berhenti mencari jawaban hingga sedetai-detailnya. Hal itulah yang membuatnya selalu bisa menjuarai perlombaan debat selama masih gadis.

Gus Ahmad yang ikut duduk di sampingnya juga tak banyak bicara. Dia juga sangat paham, jika istrinya sudah mengambil sikap begini, maka dirinya harus memberi jeda hingga rasa penasaran istrinya usai terlebih dahulu. Baru setelah itu ia bisa masuk sebagai penengah.

"Dari Gus Azmi, Ning." Bagus menjawab lirih. Kepalanya tertunduk menatap ubin rumah sakit.

"Dia bilang bagaimana sama kamu?"

"Waktu itu beliau menelepon, bertanya tentang nomor Kang Jamal. Karena ingin memberi tahu pada Kang Jamal untuk menjemput Ana yang baru saja kena rampok. Tapi saya tidak punya."

"Lalu ... mengenai lebam di tubuh Ana, bagaimana kamu tahu?"

Bagus melirik ke arah Ana yang juga tengah menatapnya. Setelah menghela nafas perlahan, ia mulai menjawab kembali pertanyaan Ning Syila.

"Seperti yang tadi saya bilang, Ning. Dokter yang memberi tahu, kalau kemungkinan kandungan Ana sedikit mengkhawatirkan karena benturan yang cukup keras di bagian perut atau pinggangnya. Makanya Ana harus istirahat total untuk sementara waktu. Dia juga gak boleh stress."

Kali ini Ning Syila yang menoleh ke arah Ana. Ana menggigit bibirnya, air mata kembali menggenangi sudut netranya. Perlahan, ia alihkan pandangannya ke arah jendela. Menyembunyikan bening kristal yang mulai menganak sungai.

Setelah mendengar penjelasan Bagus, ada rasa takut di hatinya. Tangannya mengelus perut lembut. Berharap bahwa janin yang dikandungnya akan baik-baik saja.

"Coba telepon Azmi, sekarang!" pinta Ning Syila pada Bagus.

Bagus meraba saku celananya. Dia baru sadar kalau ponselnya tertinggal di dalam mobil.

MAAF༊*·˚ [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang