M 39

15.2K 1.7K 221
                                    

Maaf telat ya, seharusnya up semalam. :)

kuota abis hahha.

jadi nunggu wayv.

Happy Reading 🌱


Irma menyuguhkan secangkir teh manis untuk Ana yang tengah membaca sebuah buku tentang Aisyah, istri kesayangan Rosulullah di teras samping dhalem. Siang setelah dhuhur, biasanya Ana gunakan untuk berdiskusi dengan Gus Fahmi jika sama-sama tidak ada acara. Tugasnya mengontrol persiapan untuk maulid nabi sudah ia selesaikan.

Kepalanya yang sering pusing tiba-tiba membuatnya enggan berlama-lama di luar. Lidahnya juga sepertinya mulai kurang bersahabat dengan rasa. Hanya rasa manis yang bisa dirasakan di indra pengecapnya itu.

"Ning ...!" Irma bersimpuh duduk di samping Ana. Etika khas santri salaf yang memang masih selalu dijunjung di pesantren Al-Furqan.

"Hemm ...?"

Ana menutup bukunya, lalu menoleh ke arah Irma. Salah satu cara untuk menghargai seseorang adalah dengan menatap wajah atau mata dari orang yang kita ajak bicara. Ana menerapkan hal itu sejak Ning Syila selalu mencoba menunjukkan perhatiannya tak hanya lewat ucapan, melainkan juga lewat perbuatan.

Pengaruh yang sangat besar baginya adalah, saat rasa percaya dan keraguan bisa diketahui dari tatapan mata, tanpa harus mengucapkannya. Begitu juga dengan rasa cinta, kecewa, dan juga ketulusan. Bibir bisa saja berbohong, tapi mata tidak. Sikap bisa saja dibuat-buat, tapi mata tidak. Mata juga yang selalu mengantarkan segala rasa ke dalam pikiran, lalu ke hati. Tak heran jika ada pantun yang berbunyi, dari mana datangnya cinta, dari mata turun ke hati.

"Ini tentang kemarin ..." Irma menundukkan wajahnya, sedikit ragu untuk mengucapkannya.

"Kenapa? Mbak Irma dan Kang Jamal sudah ditanya sama guse?" Ana sedikit khawatir.

"Mboten¸Ning! Cuma ... sebenernya Gus Fahmi sudah tahu kemarin."

Alis Ana bertaut. Ia lebih mendekatkan wajahnya pada Irma.

"Tau bagaimana, Mbak?"

Ana meletakkan bukunya di meja. Irma terlihat cukup khawatir dengan apa yang akan ia utarakan. Hal itu dirasa perlu ia bicarakan karena tadi sempat melihat ekspresi Gus Fahmi yang tampak menahan emosi keluar dari kamar.

"Kemarin Gus Fahmi sempat menelefon Kang Jamal, Ning. Nanyain Ning Ana."

"Terus?"

"Kang Jamal bilang kalau kita terpisah."

"Astaghfirullah ..." Ana mengusap wajahnya, menyayangkan Irma yang baru memberitahunya sekarang.

"Gus Fahmi juga yang nyuruh kita pulang duluan, karena beliau sudah nemuin Ning Ana."

"Apa? Gus Fahmi bilang sudah ketemu dengan saya?"

"Enggeh, Ning! Sekitar jam tujuh malam."

"Astaghfirullahal adzim ..., pantas kak Fahmi begitu dari semalem."

Wajah Ana terlihat makin pucat.

'Apa dia melihatku bersama dengan Gus Azmi kemarin?'

'Kenapa dia hanya diam saat tahu kalau aku berbohong?'

'Astaghfirullah ... apa yang sudah dia fikirkan tentang aku?'

Ana bangkit dari duduknya. Baru langkah pertama ia tapakkan, tubuhnya kembali terhuyung dan terduduk di kursi. Irma yang dengan sigap menangkap tubuh Ana mulai merasa cemas. Karena kelalaiannya juga lah hal itu harus terjadi. Dalam hatinya terpatri harap agar keluarga ningnya baik-baik saja.

MAAF༊*·˚ [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang