M 40

16.9K 1.7K 336
                                    


Happy Reading 🌱

Ning Syila menepuk lengan Ana, memberi semangat dengan anggukan kepalanya saat mereka berpamitan. Gus Fahmi akhirnya mau pulang dan makan siang di rumah setelah Ning Syila sendiri yang menelpon dan membujuknya.

Selama di meja makan, mereka terlihat baik-baik saja. Ana juga berusaha untuk tidak menampakkan kesedihannya di depan Gus Ahmad. Karena Ning Syila sendiri sudah berpesan padanya.

"Ingat Ana, masalah di kamar, jangan sampai terdengar ke luar. Selesaikanlah di kamar! Itu yang namanya berkeluarga. Kamu sebagai istri harus bisa menjadi pakaian bagi Fahmi, begitu juga sebaliknya. Jika Fahmi diam, itu mungkin karena dia kecewa. Tapi Ning yakin, Fahmi pasti lebih tahu bagaimana cara bersikap sebagai suami yang baik untuk kamu!

Ning tidak bisa bantu kamu untuk membicarakan ini pada Fahmi. Ini ranah kalian, kamar kalian. Maka tidak seharusnya ada orang luar yang ikut campur. Meskipun mereka adalah keluarga kalian sendiri.

Orang tua saja sudah tidak berhak ikut campur dalam urusan rumah tangga anak-anaknya. Apalagi hanya saudara-saudaranya. Yang perlu kamu garis bawahi adalah, peduli dengan ikut campur itu dua hal yang berbeda. Memberi solusi atau pencerahan itu termasuk peduli. Tapi ikut masuk dalam permasalahan, itu namanya ikut campur.

Menjadi penengah bukan berarti menjadi pengambil keputusan. Keputusan haruslah dari orang yang bersangkutan. Penengah itu hanya memberi pendapat, bahwa yang ini benar, dan yang itu salah. Mengerti 'kan maksud Ning?"

"Kak ..."

"Sebentar!" Gus Fahmi mengangkat tangan sambil menunjukkan ponselnya yang tengah berdering saat mobil Ning Syila sudah tak terlihat lagi.

Ana menghela nafas sambil terus menatap punggung suami yang membelakanginya. Ia menunggu dengan sabar hingga Gus Fahmi selesai dengan teleponnya. Berdiri menopang tubuh yang sebenarnya masih belum bisa berdiri tegak.

Gus Fahmi menutup telponnya dengan ucapan salam. Seolah tak memperdulikan Ana, ia malah melambaikan tangannya pada Jamal yang selalu siap di depan dhalem. Berbicara sebentar dengannya. Dari raut wajah Jamal dan gerak tubuhnya, mereka sepertinya akan melakukan perjalanan lagi. Ana sedikit mengejar langkah Gus Fahmi yang tiba-tiba masuk ke dalam, meninggalkannya.

"Kak Fahmi mau ke mana?" tanya Ana sambil berusaha mensejajari langkah suaminya.

"Ada acara mendadak. Aku harus ke luar kota, mungkin sekitar sehari dua malam."

Ana menutup pintu kamarnya cepat. Ia langsung membantu Gus Fahmi mempersiapkan segala hal yang biasa dibawanya setiap pergi keluar kota. Mungkin memang sebaiknya dia tidak membicarakan hal ini sekarang.

"Ke mana?" tanya Ana lirih sambil membantu melipat beberapa sarung yang ikut masuk ke dalam tas.

"Pasuruan."

"Kak Fahmi gak mandi dulu?"

"Gak usah, udah ditungguin."

Ana terus menatap wajah Gus Fahmi yang selalu menghindari kontak mata dengannya.

"Kak Fahmi!" Ana menahan tangan Gus Fahmi yang berusaha menutup resleting tasnya.

Gus Fahmi mengangkat wajahnya. Menatap mata Ana yang terlihat sangat sedih. Ana menahan debar di dadanya yang terasa menyakitinya. Matanya memanas melihat suaminya tak khawatir lagi padanya.

"Ada yang harus Ana jelasin sama Kak Fahmi!"

Ana menekan suaranya yang mulai parau. Gus Fahmi kembali menundukkan wajah. Ia bukan tidak tahu Ana sedang bersedih sekarang. Sembab di mata Ana pun masih sangat jelas terlihat meski coba ia tutupi dengan air wudhu tadi.

MAAF༊*·˚ [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang