M 37

15.5K 1.9K 1.1K
                                    

Yey congrats 1k vote dan komennya.🍉

ni hadiahnya hahahha.🍉


happy Reading .... 🍉




Bagus mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Wanita yang biasanya tampak sibuk ke sana ke mari, kini sudah tak terlihat batang hidungnya. Ingin bertanya pada Dika, khawatir Dika malah menggodanya nanti.

Sementara Ana meminta Gus Azmi untuk menurunkannya di persimpangan jalan pesantren. Ia menolak untuk diantar hingga ke depan dhalem karena khawatir para santri yang melihat akan berprasangka buruk. Jika tak salah mengira, Gus Fahmi juga akan sampai sebentar lagi. Atau malah bahkan bisa sudah sampai lebih dulu dibanding dirinya. Ana pun yakin, jika Gus Fahmi saat ini pasti sudah mengkhawatirkannya karena ponselnya yang sudah raib tak bisa dihubungi.

Gus Azmi menyerah. Ia menyetujui permintaan Ana dengan menurunkannya di persimpangan pesantren. Ana juga meminta Gus Azmi untuk tidak menyinggung apapun soal hari itu pada Gus Fahmi. Ana yang akan mencoba menjelaskan semuanya padanya nanti.

"Terima kasih, Gus!" Ana menutup pintu mobil lalu mengangguk sopan, berterima kasih.
Gus Azmi masih menatap iba padanya. Ia masih enggan untuk pergi dari sana sebelum melihat Ana masuk ke dalam pesantren. Namun, permohonan Ana selanjutnya adalah ia harus pergi dari sana sebelum ada yang melihatnya. 

Gus Fahmi memarkir mobilnya lebih jauh dari tempat Gus Azmi menurunkan Ana. Ia terus memperhatikan Ana yang tampak turun dari pintu mobil belakang. Entah bagaimana dengan ekspresi Gus Azmi, yang pasti Gus Fahmi lebih jelas melihat wajah Ana yang tersenyum sambil menganggukkan kepalanya.

Ana melangkah melewati pembatas antara jalur putri dan putra. Jam masih menunjukkan jam delapan malam. Jam sibuk pesantren dengan pengajian kitab kuning yang dibagi-bagi dalam beberapa kelompok. Jadi jalur itu masih sangat sepi dengan para santri cabang yang biasanya akan berjalan di jalur itu menuju pesantren pusat.

Gus Fahmi memalingkan wajahnya saat mobil Gus Azmi melewatinya. Ia menghela nafas, lalu kembali menatap Ana yang melangkah terlalu pelan di jalur putri. Perlahan, ia menghidupkan mobilnya lalu membunyikan klakson pada Ana yang berjalan lebih sedikit di depannya.

"Kak Fahmi?" wajah Ana terlihat senang. Seolah rasa sakit di pinggangnya sudah tak berasa. Ia memutar kembali langkahnya menuju mobil Gus Fahmi. 

"Kak Fahmi sejak kapan yang nyampe? Ana pikir sudah tadi loh."
Ana berujar setelah duduk di samping Gus Fahmi. 

Sebelumnya tak lupa ia mengambil ponsel Gus Fahmi yang tergeletak di jok mobil. Tangannya terulur ke arah suaminya.

Gus Fahmi berpura-pura tak melihat uluran tangan Ana. Ia malah langsung melajukan mobilnya kembali memasuki gerbang pesantren. Beberapa santri putra yang ikut mengabdi dengan menjaga pos keamanan langsung berdiri menundukkan kepala seraya membuka gerbang pesantren.

Ana menarik tangannya kembali, lalu mendekatkan hidungnya ke lengan Gus Fahmi yang sibuk memegang kemudi. Ia eluskan hidungnya dengan manja di sana sambil menautkan tangannya ke lengan Gus Fahmi.

"Kak Fahmi sudah makan?" tanya Ana saat Gus Fahmi menghentikan mobilnya tepat di depan dhalem. 

Nampak mobil yang tadi ia pakai juga sudah parkir di halaman dhalem. Hatinya sedikit lega, paling tidak nanti ia bisa beralasan bahwa dia yang menyuruh Jamal untuk pulang lebih dulu karena ia masih harus mampir ke tetangga.

"Sudah," jawab Gus Fahmi masih tanpa menoleh ke arah Ana.

Tergesa Ana meraih tas Gus Fahmi di sampingnya lalu cepat menyusul langkah Gus Fahmi sambil mencoba menahan sakit di pinggangnya. Ada sesuatu yang tak beres dengan Gus Fahmi. Apa karena masih capek? Batinnya.

MAAF༊*·˚ [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang