M 30

15.1K 1.7K 89
                                    

Happy Reading ☘️

Gus Fahmi menatap wajah Ana yang sudah terlelap dalam tidurnya. Di tangannya terdapat terjemah kitab Bulughul Maram yang tadi ia beli. Ia mengambilnya dengan pelan agar Ana tak sampai terbangun. Buku yang cukup tebal itu sudah berpindah ke atas nakas di sisi tempat tidur.

Biasanya Ana tak pernah lebih dulu tertidur. Ia selalu menunggu Gus Fahmi masuk ke dalam kamar, menyiapkan air hangat dan baju ganti untuknya, lalu mengambil posisi ternyaman dalam dekapan Gus Fahmi setelah sholat hajat bersama. 

Namun kali ini, Ana terlihat sangat lelah. Mungkin karena seharian tadi, ia sudah mengajaknya berkeliling. Mata Gus Fahmi beralih ke arah jam dinding yang sudah hampir melewati tengah malam. Pantas saja Ana sudah tidur. 

Mereka pulang sebelum 'ashar tadi. Ana langsung melanjutkan tugasnya mengimami sholat berjamaah di musholla, lanjut memimpin bacaan rotibul haddad. Selepas maghrib, ia ikut niteni para pengurus asrama yang menyetor bacaan Alquran pada Nyai Sakdiah. Sudah sebulanan Ana mendapat pembagian tugas dari mertuanya, untuk ikut mengamati bacaan Alquran para pengurus asrama.

Alur yang sama seperti saat Ana masih nyantri di sana. Biasanya para santri akan menyetor bacaan Alqurannya pada pengurus asrama sebelum subuh. Lalu selepas maghrib para pengurus yang harus bergantian menyetor bacaan Alquran pada bu nyai. 

Setelah isya' adalah jadwal Ana ikut belajar ngabsahi kitab tafsir jalalain bersama Nyai Sakdiah. Privat. Karena Nyai Sakdiah pun ingin nanti Ana yang akan menggantikannya dalam kajian setiap minggu di luar pesantren.

Tak pernah sekalipun Gus Fahmi mendengar keluhan dari Ana. Meski Gus Fahmi hampir setiap hari bertanya, apa Ana capek? Atau bosan? Dan jawabannya sama saja. Alhamdulillah, ada ilmu baru hari ini. 

Menjadi istri dari anak seorang kyai tidaklah semudah yang dibayangkan. Meski terlihat semuanya serba tercukupi dan terbantu, Ana berusaha semaksimal mungkin untuk tidak membebankan semua pekerjaan rumah tangga pada khadamahnya. Belum lagi, beberapa tugas yang sebelumnya adalah tugas bu nyai, kini beralih padanya. 

Sebelum subuh, setelah melaksanakan sholat tahajud bersama Gus Fahmi, Ana masih harus mengontrol dan membangunkan para pengurus asrama. Setelah mereka bangun, terkadang Ana ikut serta membangunkan para santri lain yang seharusnya adalah tugas para pengurus asrama. Berbeda dengan cara Nyai Sakdiah yang membangunkan lewat pengeras suara musholla. Ana lebih memilih untuk mendatangi kamar mereka satu persatu. Menurutnya itu lebih efektif.

Tangan Gus Fahmi mengelus rambut Ana perlahan. Kecupan lembut juga ia daratkan di kening Ana dengan sebaris doa untuk kebaikannya. Matanya terpejam lama, mensyukuri nikmat karena Allah telah menjadikan Ana sebagai pendampingnya.

Perkataan Ana kemarin benar-benar mampu membiusnya. Bahkan, menambah rasa sayang di hatinya menjadi berlipat-lipat. Bagaimana mungkin, perempuan yang dikenalnya selalu terburu-buru dalam mengambil keputusan, atau bahkan terkesan tidak bijak saat merasa terdzolimi, bisa merangkai kata-kata penenang untuk hatinya yang tengah dilanda cemburu.

"Ana mau bicara sebentar, bisa?" tanya Ana sebelum mereka melepas penat di tempat tidur.
Gus Fahmi yang saat itu juga sudah bersiap untuk tidur, kembali duduk bersandar pada ujung dipan. Sejak pulang dari pantai, Gus Fahmi memang tidak mengucapkan sepatah kata pun pada Ana. Termasuk saat Ana menawarkan sesuatu padanya, ia hanya menjawab dengan iya atau tidak.

"Ana minta maaf!" Ana menarik tangan Gus Fahmi ke dalam genggamannya. 

"Ana tahu, Ana salah. Seharusnya Ana langsung pergi saat Gus Azmi datang. Ana minta maaf!"

Mata mereka beradu. Gus Fahmi mendapati ketulusan di mata Ana. Sebenarnya, ia sama sekali tak marah pada Ana. Ia hanya merasa takut dan marah pada dirinya sendiri. Takut untuk kehilangan Ana, dan marah karena ia tak bisa bersikap tenang saat mendapati Ana bersama Gus Azmi. Ia khawatir, ada orang yang mengambil kesempatan dari kebersamaan mereka untuk menimbulkan fitnah di keluarganya. Matanya kembali tertunduk. Menatap jari-jari lentik yang mengelus-ngelus lembut punggung tangannya. 

MAAF༊*·˚ [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang