Assalamu'alaikum, maaf telat up-nya. Lupa kalau semalem, malam jumat. hihi ..
Jadi bikinnya ngebut. Kalau di part ini feelnya kurang dapet, mohon dimaklumi ya.
Semoga bisa nambah part secepatnya. Pingin cepet-cepet rampung nih edisi wattpadnya.
Habis itu langsung garap versi cetaknya. Mohon doanya ya ...
Jangan lupa sumbangan komentnya, okeeeh...
--------------------------------------------------------------
"Benarkah? Masyaallah, Alhamdulillah ...!"
Mata Nyai Sakdiah berkaca-kaca saat Gus Fahmi memberitahukan tentang kehamilan Ana. Cepat ia merangkul menantu yang saat itu tengah duduk disampingnya. Tangan yang mulai keriput itu mulai mengelus-ngelus punggung Ana, haru. Bibirnya juga tak henti mengucap syukur pada Allah.
Kyai Jakfar menepuk pundak Gus Fahmi, tak kalah haru. Ia akan menjadi kakek setelah ini. Bahkan dalam jangka waktu yang menurutnya cukup singkat. Padahal dulu, dia perlu menunggu hingga tiga tahun lamanya untuk bisa memiliki anak.
"Sudah berapa bulan?" tanya Nyai Sakdiah setelah melepas pelukannya.
"Baru sepuluh mingguan, Umi," jawab Gus Fahmi.
"Hampir tiga bulan. Sebulan lagi kita adakan acara empat bulanan."
Nyai Sakdiah melempar pandangan pada suaminya. Kyai Jakfar mengangguk-anggukkan kepalanya seraya tersenyum.
"Ayah dan Bunda, Ana sudah tau?" tanya Nyai Sakdiah lagi.
"Sudah, Mi." Gus Fahmi kembali menjawab.
"Syukurlah kalau begitu. Ana ndak boleh capek-capek dulu. Ngurusin santrinya jangan diforsir kalau begitu. Biar Umi saja nanti yang turun tangan di asrama tahfidznya."
"Insyaallah, Ana baik-baik saja, Mi. Kalau cuma ngurusin kegiatan mbak-mbak santri, insyaallah Ana masih bisa. Sekalian mengenalkan Alquran dari sejak dini sama keturunan, Kak Fahmi." Ana mulai fasih dan tidak canggung lagi memanggil Gus Fahmi dengan sebutan Kak Fahmi di depan mertuanya.
"Umi senengnya masyaallah pokoknya. Kamu suruh Bu Asih untuk beli paketan sembako ,ya. Umi pingin kasih sedekah sama anak-anak yatim di sekitar sini. Sebagai bentuk syukur karena kehamilan Ana. Sekaligus meminta doa mereka untuk ibu dan bayinya."
Gus Fahmi mengangguk dan langsung beranjak dari duduknya. Melaksanakan perintah sang Umi tanpa menunggu. Kebiasaannya sejak kecil, adalah mematuhi setiap perintah dari orang tua dan gurunya tanpa membuat mereka menunggu lama.
Tangan Ana masih terkunci di genggaman Nyai Sakdiah. Ada syukur yang lebih banyak di hatinya, karena telah mengirimnya ke tengah-tengah keluarga yang selalu menomor satukan akhlaq dibanding keilmuan. Juga karena telah dipercaya menjadi wanita yang akan memberikan penerus bagi Pondok Pesantren Al-Furqan.
****
Tahukah kamu, Ana?
Kenapa aku lebih suka langit dibanding laut? Karena rasaku padamu seperti itu. Luas tanpa tepi. Tempat berkumpulnya doa-doa manusia, juga malaikat. Mungkin, jika aku tak bisa bersamamu di bumi ini, setidaknya aku masih bisa berharap, ada doa-doaku di langit yang bisa merangkul doamu di sana.
Percayakah kamu, Ana?
Bahwa tidak ada sesuatu yang kebetulan di dunia ini. Semua sudah digariskan jauh sebelum kita terlahir. Termasuk, setiap inci perasaan manusia. Dan mungkin memang sudah takdirku untuk mencintaimu dengan cara seperti ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
MAAF༊*·˚ [END]
Teen Fiction[SQUEL OF CINDERELLA PESANTREN] [SUDAH DI TERBITKAN] "Bagaimana jika bukan dia yang merebutnya dariku? Melainkan aku yang merebutnya? Karena sejak awal, memang dialah yang diharapkan berjodoh dengan Kak Fahmi." -Ana. . "Jika islam tidak mengharamkan...