M 42

17K 1.9K 336
                                    

Selamat Maljum 🌱

Jangan lupa Al-kahfi hari ini 🌿


Happy Reading 🌱

Gus Fahmi baru saja turun dari podium saat Gus Amar menyalaminya dengan tersenyum. Lalu mengiringnya masuk menuju wisma yang sudah disediakan untuk Gus Fahmi. Jamal pun turut berjalan di belakang gusnya.

Hari yang cukup sibuk untuk Gus Fahmi. Mulai dari mengisi beberapa acara di beberapa undangan para alumni. Dan sekarang terakhir berada di sebuah Pondok Pesantren hidayatul Mubtadiin. Ponsel dan tasnya nyaris tak tersentuh seharian ini. Masih aman berada dalam penjagaan Jamal.

"Bagaimana, Gus? Istri sudah isi?" tanya Gus Amar di sela-sela jamuan makan sore itu.

"Alhamdulillah, masih proses."

Keduanya tergelak bersama. Sama-sama menutup mulut saat tertawa.

"Jangan kaget, kalau istri hamil biasanya emosinya makin labil." Gus Amar berseloroh.

"Enggeh, Gus."

"Kalau istri ngomel, ya terima saja. Didengarkan, tapi jangan dimasukin ke hati."

"Loh, sering diomelin juga, Gus?"

"Ha, ha ... ya sering, kan wes anak tiga."

Wajah Gus Amar sedikit memerah saat Gus Fahmi ikut menggodanya. Gus Amar adalah salah satu putra Kyai Marzuki, salah satu kyai yang cukup tersohor di Pasuruan. Gus Amar sendiri di kenal sebagai seorang gus yang mempunyai karomah. Diantara adalah seringnya celetukan atau ucapan-ucapan yang dilontarkannya menjadi sebuah kenyataan untuk lawan bicaranya.

"Kalau marahan juga jangan lama-lama. Nanti bisa nyesel loh!"

Gus Fahmi merasa tertohok mendengar ujaran Gus Amar. Ia tersenyum, menundukkan wajahnya. Khawatir Gus Amar benar-benar bisa membaca apa yang tengah dijalaninya saat ini.

"Habis ini masih mau lanjut ke mana atau langsung pulang?"

"Insyaallah langsung pulang, Gus."

Sekali lagi Gus Amar terkekeh pelan sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Sementara Gus Fahmi hanya sesekali mengangkat wajah untuk menatap Gus Amar yang rentan usianya berkisar tujuh tahun di atasnya.


Maaf



Bagus mengantar Naya hingga ke depan rumahnya. Ia menapaki bekas langkah Naya yang berjalan di depannya. Menikmati senja dan semilir angin yang juga sudah berbisik bahwa siang telah sirna.

Mereka diam, mengeja satu persatu rasa yang mungkin masih tertinggal di dalam hati. Satu persatu jejak mereka tinggal tanpa bekas. Meski harap masih coba disemai di dalam onak.

"Sebaiknya kamu pulang. Sebentar lagi gelap."

Naya masih memberikan perhatian pada Bagus yang tampak menautkan dua tangannya di belakang badan. Bagus menoleh ke sekitar sejenak.

"Aku akan tetap bantu warung kamu, tapi mungkin akan lebih baik jika kita tidak bertemu dulu sementara waktu."

Bagus mengangguk, lalu mengeluarkan ponsel dari dalam sakunya.

"Aku boleh tau nomormu?" tanya Bagus. Padahal dia bisa saja langsung meminta pada Dika. Namun, ia masih mencoba untuk menghargai hati Naya.

"Sebaiknya jangan." Naya kembali menyapu sudut matanya.

Ia benar-benar ingin terbebas kali ini. Dua tahun bukan waktu yang sebentar untuknya bertahan. Meski rasa sakit itu baru dirasakannya setelah kembalinya Ana dalam kehidupan Bagus. Karena kini dia tau alasan di balik sikap dingin Bagus selama ini.

MAAF༊*·˚ [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang