M 6

21.9K 2.1K 173
                                    

Happy Reading🌱

“Ana ….” Suara Nyai Halimah sedikit parau.

“Mulai sekarang, manggilnya jangan Bu Nyai. Panggil Bibi saja, seperti Fahmi.”

“Enggeh, Bu Nyai. Eh, Bibi ….” Ana masih kikuk, tak terbiasa dengan panggilannya.
Nyai Halimah tersenyum.

“Kalau boleh, Bibi mau minta tolong sama Ana.”

“Minta tolong apa, Bu Nyai?” Ana sedikit menggigit bibirnya yang kembali memanggil Nyai Halimah dengan sebutan bu nyai.

“Minta tolong untuk memaafkan Aisy.” Nyai Halimah menyeka embun hangat yang menetes dari sudut matanya.

“Mungkin, di masa lalu, Aisy punya salah sama Ana dan Fahmi.”

“Ning Aisy orang baik, Bu Nyai. Insyaallah, Ning Aisy tidak punya salah apapun pada saya.”

“Namanya manusia, Nduk. Tidak ada yang tahu kesalahannya. Baik yang disengaja, maupun yang tidak. Kalau bukan Aisy, mungkin dari kami pernah punya salah sama kamu. Azmi mungkin ndak sengaja menyakiti kamu.”

Ana menunduk. Ia tak berani menatap mata Nyai Halimah yang tampak sangat sedih. Seolah ada kecemasan besar dalam pupil matanya.

“Khawatir, karena kesalahan-kesalahan kami dahulu, kami mendapatkan karma yang tidak kami sadari.” Nyai Halimah melanjutkan ucapannya.

“Astaghfirullah, itu tidak mungkin, Bu Nyai. Bu Nyai dan keluarga adalah orang-orang baik. Gus Azmi dan Ning Aisy juga anak-anak yang sholeh dan sholeha. Mana mungkin akan ada karma bagi keluarga, Bu Nyai.” Sergah Ana.

“Jangan lupa, Ana. Kami hanya manusia biasa, yang tidak mungkin selamanya benar. Kami hanya mencoba, untuk tetap berjalan di atas kebenaran. Terlepas dari cara kami yang mungkin menyakiti orang lain tanpa disengaja. Karena sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa-dosa hamba-Nya yang melakukan kesalahan pada orang lain, sebelum mereka meminta maaf pada orang tersebut.”

“Astagfirullah ….” Tamparan keras untuk Ana. Mungkin, ia pun saat ini masih belum meminta maaf pada orang-orang yang pernah di sakitinya.

“Istighfar kita, dan doa-doa kita, tidak akan ada gunanya, jika kita masih belum meminta maaf pada orang-orang yang pernah kita dzolimi. Tidak hanya fisik, mental dan fikiran juga.”

Ana makin terpekur. Menyadari semua kesalahannya di masa lalu. Genggaman Nyai Halimah makin erat.

“Bibi minta keihklasan hati Ana untuk memaafkan kami. Karena dalam waktu dekat ini, kami harus kembali ke Arab Saudi.”

“Kenapa harus kembali ke sana, Bu Nyai? Bukankah Ning Aisy masih sakit?”

“Justru karena Aisy, kami ingin mengobatinya di sana. Mungkin dia rindu rumah. Karena sejak kecil, dia memang sudah terbiasa di sana.”

Ana mengikuti arah pandangan Nyai Halimah pada Ning Aisy. Ada rasa iba yang sangat besar di hati Ana saat ini. Wanita sekuat Ning Aisy, bisa terlihat tak berdaya di depannya sekarang. Mungkinkah penyakit Ning Aisy berkaitan dengan pernikahannya?

ꕥ 𝕄𝕒𝕒𝔽 ꕥ

“Tadi bicara apa saja sama Bibi?” Tanya Gus Fahmi saat mereka sudah keluar dari pesantren Nurul Quran.

“Yang pasti, aku baru dapat ilmu baru dari Bu Nyai.”

“Ning Aisy sakit apa?”

“Demam.”

“Oh ….”

“Ana masih mau mampir-mampir dulu, atau kita langsung pulang?”

“Ke rumah?”

MAAF༊*·˚ [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang