Seperti biasa sebelum mulai mari baca bismillah dulu biar bapernya ga kelewatan,
terus klik bintang pojok kira ya, jangan lupa tinggalkan jejak ehe :v
masih rada sibuk ini, jadi rada slow up
Happy Reading🌱
Nyai Sakdiah menyuruh Gus Fahmi dan Ana untuk berangkat lebih dulu. Sementara Kyai Jakfar dan dirinya masih harus pergi ke rumah Kyai Kholil dan Kyai Ramdan. Mereka sepakat untuk bertemu di rumah Ana nanti setelah urusan mereka selesai.
"Ana capek?" tanya Gus Fahmi seraya menoleh ke arah Ana yang tampak melepas pandangannya keluar mobil.
Ana menjawabnya dengan gelengan kepala. Gus Fahmi sengaja meminta Jamal untuk tidak mengantarnya hari ini. Ia benar-benar ingin menikmati hari-harinya bersama Ana.
Gus Fahmi memelankan laju mobilnya saat melewati pantai. Ana mengalihkan pandangannya ke arah Gus Fahmi. Lebih tepatnya pada pemandangan yang ada di sebelah kanan jalan. Gus Fahmi tersenyum mengerti. Ia lantas menghidupkan lampu sein ke arah kanan.
"Loh, mau kemana?" tanya Ana bingung saat mendapati Gus Fahmi yang tengah menyeberang jalan menuju sisi kanan.
"Kita istirahat sebentar. Umi dan abah 'kan juga masih mampir ke dhalem Kyai Kholil dan Kyai Ramdan," jawab Gus Fahmi seraya memarkir mobilnya di samping warung yang menjual es kelapa muda.
Ana tersenyum, ia langsung mengikuti langkah suaminya yang keluar dari mobil. Tangan Gus Fahmi sudah terulur ke arahnya, menunggu Ana untuk segera menyambutnya. Lagi-lagi Ana mengurai senyum lebih lebar sebelum meraih tangan yang terulur ke arahnya itu.
"Ana mau jalan-jalan atau minum es kelapa muda?" tawar Gus Fahmi.
"Jalan-jalan saja!" pilih Ana yang langsung berjalan menuju pantai. Melewati warung yang tak berpagar itu.
Dua pasang kaki tak beralas itu menapaki pasir yang tampak basah karena sapaan ombak. Satu tangan mereka sama-sama menenteng sandal, sedangkan satunya lagi saling bertaut, mengunci dalam-dalam cinta mereka lewat genggaman.
Beberapa kali mereka tampak tertawa dengan canda-canda kecil yang kadang tak perlu mereka tertawakan. Mungkin karena mereka tengah jatuh cinta. Hingga walau hanya sekedar tatapan mata pun, tawa mereka bisa hadir bersamaan dengan semu merah di wajah mereka.
"Ana lebih suka apa? Pantai atau gunung?" tanya Gus Fahmi seraya melepas sandalnya saat agak jauh dari sisi pantai.
Kini mereka sudah berdiri lebih jauh dari bibir pantai. Gus Fahmi melepas tangan Ana sejenak, lalu mengambil tempat untuk duduk beralaskan sandal yang sudah ia lepas tadi. Ana pun mengikuti tingkah Gus Fahmi.
"Keindahan itu fatamorgana," ujar Gus Fahmi saat mereka sudah duduk bersebelahan di tepi pantai.
"Kok bisa?" tanya Ana tak mengerti.
Di depan mereka terhampar pemandangan senja sebelum matahari terbenam. Menimbulkan pecahan kilauan sinar dari bias ombak yang bergulung ke tepian. Garis maya yang tercipta karena perbedaan warna antara laut dan langit, nyaris seperti kakak beradik di ujung sana. Benar-benar menjakan mata mereka untuk sejenak.
Gus Fahmi menarik pandangan Ana ke arah lain di belakangnya. Jauh di belakang sana, perpaduan beragam warna hijau juga membentang dan membentuk segitiga-segita tanpa sudut. Kumpulan bukit-bukit bak lukisan terhias dengan siluet-siluet cokelat dari beberapa pepohonan tua.
"Subhanallah ...," ucap Ana lirih.
Terlihat Gus Fahmi yang kembali tersenyum seraya menatap wajah Ana, lekat. Debar di hati Ana pun kembali terasa. Aneh, padahal ini bukan pertama kalinya Gus Fahmi menatapnya begitu.
KAMU SEDANG MEMBACA
MAAF༊*·˚ [END]
Fiksi Remaja[SQUEL OF CINDERELLA PESANTREN] [SUDAH DI TERBITKAN] "Bagaimana jika bukan dia yang merebutnya dariku? Melainkan aku yang merebutnya? Karena sejak awal, memang dialah yang diharapkan berjodoh dengan Kak Fahmi." -Ana. . "Jika islam tidak mengharamkan...