M 15

18.7K 2.2K 267
                                    

Hai,

terharu dah sama usaha kalian buat menuhi target :v

banyak yang spam sih, tapi tetep aja ga sampai target.

kali ini partnya Panjang ya, lebih dari 2k kata, so sekarang WAJIB TINGGALKAN JEJAK YA .

Saling menghargai gtu :v


Bismillahirrahmanirrahim, 

Happy Reading 🌱

Lina dan ibunya tampak masih shock dengan kejadian barusan. 

Beberapa khadamah membawakan air untuk mereka. Nyai Halimah dan Nyai Arofah ikut mendampingi mereka di ruang tengah. 

Sedangkan Nyai Sakdiah sudah mengikuti langkah Gus Fahmi yang membawa Ana ke kamar mereka. 

Ning Aisy membantu mengambilkan pakaian ganti untuk kakaknya, sementara Ning Syila mengekor di belakang Nyai Sakdiah. Para Kyai juga sudah menyusul ke ruang tengah dengan wajah yang tak bisa dibilang tenang.

"Ana ndak pa-pa?" tanya Nyai Sakdiah sambil mengelus lengan Ana yang masih berada di pelukan Gus Fahmi.

Ana menggeleng cepat, menenangkan mertuanya.

"Kamu nekat banget, An! Masih aja gak berubah!" tegur Ning Syila yang kini ikut berdiri di samping Nyai Sakdiah sambil mengulurkan segelas air untuk Ana.

Ana menerimanya tanpa menjawab.

"Ya sudah, kamu ndak usah keluar dulu! Di kamar saja!" Nyai Sakdiah sudah memutuskan, Ning Syila mengangguk setuju. 

"Umi mau keluar dulu, ayo Syila!" ajaknya pada Ning Syila yang langsung mengikuti langkahnya keluar dari kamar.

Ana beranjak ke arah sofa dan Gus Fahmi bergegas mengunci pintu, lalu kembali pada Ana yang meminum air dari gelasnya. Ia menghela nafas, terlihat kesal tapi juga khawatir. Alisnya menyilang ke arah bawah sambil tetap menatap Ana.

Ada sedikit rasa takut di hati Ana kali ini. Takut jika suaminya akan marah besar dan menyalahkannya. Pandangan Gus Fahmi benar-benar tidak mengennakkan buatnya.

Gus Fahmi mengambil gelas yang sudah kosong di tangan Ana, meletakkannya di meja. 

Lagi-lagi menghela nafas. Tatapan Ana berubah menjadi tatapan memelas pada Gus Fahmi. Tanpa ada kata permintaan maaf yang keluar dari mulutnya.

"Benar kata Ning Syila, Ana belum berubah. Memang seperti ini Ana yang Kak Fahmi kenal. Pemberani, dan gak pernah bisa diam jika itu menyangkut ketidak adilan. Tapi ingat, sekarang Ana sudah bukan santri lagi. Ana istri Kak Fahmi."

Ana menunduk. Ia menyadari kesalahannya. Namun hatinya masih saja ingin berteriak, apa salahnya dengan menjadi istri seorang gus? Bukannya itu malah yang harusnya menjadi alasan untuk bersikap lebih tegas lagi?

Gus Fahmi membelai kepala Ana lembut sambil memandangnya penuh kasih. Tangan kanannya menggenggam tangan Ana yang masih dingin. Mungkin efek dari kejadian tadi.

"Boleh bersikap tegas, sayang. Tapi tidak harus membahayakan diri sendiri juga. Kak Fahmi gak mau terjadi apa-apa sama Ana."

Ia menarik Ana ke dalam pelukannya. Berkali-kali ia menghela nafas penuh penyesalan seraya terus membelai kepala istrinya. Ana mengusap air di sudut matanya. Terharu, tidak ada satupun di keluarga itu yang menyalahkannya. Itu semua hanya karena mereka mengkhawatirkan Ana.

Maaf

"Ana bagaimana?" tanya Kyai Jakfar dan Kyai Ramdan bersamaan.

MAAF༊*·˚ [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang