Chapter 3: The Beginner

196 32 11
                                    

"Alisya Chestial, sembilan belas tahun."

"Namaku kouksal, umurku sembilan belas tahun. Salam kenal!"

"Aku Apollo Altyir, delapan belas tahun."

Dari gaya mereka bicara aku sudah bisa memperkirakan sedikit dari kepribadian mereka.

Pria bernama Kouksal itu terlihat menyenangkan dan penuh tawa.
Ia memiliki rambut agak kriting berwarna coklat.
Perawakannya sedang serta memakai kaos grup band "Pink Floyd" berwarna hitam.

Alisya tampak seperti wanita yang tidak peduli lingkungan sekitar dan kejam.
Ia cantik, berkulit putih, dengan rambut  hitam bergelombangnya yang panjang dan agak berantakan.
Wajah serta ekspresinya terlihat begitu dingin dan sepertinya tergolong orang yang bicara dengan seperlunya.
Ia memakai  kaos hitam panjang dengan celana Jeans pendek.
Ia kini sedang mengetik sesuatu dan terus fokus pada layar ponselnya.

Sedangkan untuk yang bernama Apollo, aku belum terlalu paham.  Ia berdiri, bersandar pada tembok sambik menyilangkan lengannya.
Dengan kaos lengan panjang berwarna merah muda dan ekspresinya yang datar itu, tidak yang mencolok darinya selain dari bajunya yang kontras dengan yang lain.

Aku bertanya pada Goelaro dengan suara peoan "Anggotanya ternyata tidak terlalu banyak, ya?"

"Kata-katamu itu persis seperti yang dikatakan Kouksal dulu.
Ya, memang untuk ukuran regu hanya sebanyak ini. Walau ada sebenarnya yang lebih banyak."

"Apa? Aku mengatakan apa?," tanya kata Kouksal yang sekilas mendengar perjataan Goelaro tadi.

"Sudahlah, tutup mulutmu. Kalau tidak diajak bicara diam saja," ucap Alisya dengan marah dengan ekspresinya yang sinis.

"Hei, apa salahnya sih? Aku kan hanya bertanya." jawab Kouksal pada Alisya.

"Yang salah itu otakmu," jawab Alisya dengan nada yang sama.

"Kau ini marah-marah melulu sejak tadi. Sedang galau atau bagaimana?

Alisya lalu mendekati Kouksal dengan cepat dan menempelkan sebilah belati di bibir Kouksal.
Ia berkata dengan pelan, "Dengar, mood-ku sedang buruk. Bicara sekali lagi dan akan kurobek mulutmu itu."

Kedua mata Kouksal terbuka lebar saat itu juga dan raut wajah yang panik.
Dengan cepat dan ketakutan ia berkata, "Baik Baik, Maaf."

"Alisya, sudahlah, letakan pisaumu itu," bujuk Goelaro.

Ia lalu meletakan  pisaunya dan kembali duduk sambil terus menatap Kouksal dengan tatapan sinisnya itu.
Ia sangat berbahaya.

"Maafkan atas keributan barusan," ucap Goelaro kepadaku dengan tawa kecilnya.
"Ngomong-ngomong soal pertanyaanmu tadi, regu memang berisi sekitar delapan sampai sepuluh orang, dan dalam Weird Soul terdapat sangat banyak regu-regu lainnya."

"Regu itu maksudnya bagaimana? Apakah di organisasi yang kaubicarakan itu terdapat semacam sistem pemerintahan?"

"Kau tidak tau banyak ternyata," ujar Alisya padaku.

"Namanya juga orang baru, wajarlah," jawab Kouksal.

Alisya lalu mengangkat kembali pisau yang baru saja ia letakan dan melirik Kouksal dengan tatapan tajam sebagai pertanda bagi Kouksal untuk diam.

Dengan ekspresi yang sama seperti sebelumnya Kouksal berkata, "iya, maaf, aku paham."

"Sudahlah Alisya, kau memarahinya terus sejak tadi," kata Goelaro sambil tertawa.

"Salah sendiri tidak bisa diam," jawab Alisya dengan singkat.

Entah mengapa aku sudah lama tidak melihat pemandangan ini. Melihat dan merasakan menjadi bagian dari sebuah lingkaran pertemanan.
Ya, walau isinya orang-orang semacam mereka, rasanya tidak jadi masalah buatku.

The Weird Soul ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang