Chapter 23: It's Called Apocalypse

75 16 5
                                    

Rasa panik dan detak jantung yang meningkat, aku bergegas masuk ke dalam rumah dan mengunci kembali pintu itu rapat-rapat.

"Ini terjadi, ini semua terjadi," ucapku yang melangkah cepat menuju kamar.

Aku membanting tasku ke sudut ruangan, berganti baju, dan segera menjangkau ponsel yang terbaring sejak aku berangkat sekolah.
Dari ponsel itulah aku mencari berbagai berita dari berbagai sumber tentang kejadian di sekolah barusan beserta berita virus yang banyak diperbincangkan.

Sebenarnya, tanpa kucari pun seluruh berita itu sudah bermunculan dengan sendirinya di beranda media sosialku.
Kerusuhan di New York, Nevada, Tokyo, Moskow, dan seluruh kota-kota besar di seluruh dunia.

"Sial, ini masalah yang benar benar serius," ucapku dalam hati sambil terus menggulir layar ponsel ini.

"Apa ini juga alasan puluhan mobil polisi dan ambulan yang terus berdatangan di jalan raya?"
Beruntung aku memilih pilihan yamg benar. Pulang sekolah lewat rute perumahan kosong dengan jalan yang sepi itu adalah jalan teraman untuk saat ini.

Di tengah kesunyian kala matahari mulai tenggelam, terdengar suara tembakan yang memecah konsentrasiku. Beberapa kali suara itu terdengar jauh dari arah rumahku.

"Tidak tidak, sudah terlambat untuk merayakan tahun baru."
Kataku bermonolog.
Perlahan kubuka gorden dan mengintil  keluar jendela kamar.
Terlihat beberapa mobil polisi, atau mungkin tentara, dari kejauhan.

Seperti sedang terjadi kerusuhan jauh di sana. Apakah mereka akan mengevakuasi warga sipil di sana? Tidak, sepertinya tidak. Mereka bersenjata dan hanya terfokus untuk menghadapi keramaian itu.
Aku dapat melihat dengan begitu jelas, hanya itu yang dapat kuamati dari sini.

Aku terdiam sesaat sambil menutup kembali gorden jendelaku itu, berpikir apa yang sebaiknya kulakukan di saat seperti ini.

"Jika aku berlari keluar dan menyelamatkan diriku, aku tidak tahu apa yang mungkin terjadi.
Namun, bila aku teriak meminta tolong, aku yakin sesuatu yang buruk pasti akan terjadi, aku tau itu".

Aku hanya terdiam dan terus berpikir. Diam diatas kasur menyilangkan menyilangkan kedua tangan, itulah yang kulakukan selama beberapa menit.
"Haruskah aku menelpon Alisya dan yang lainnya untuk datang menjemputku di sini? Tidak, ini sudah malam, akan sangat berbahaya."

Tanpa berpikir panjang lagi, aku langsung merebahkan tubuhku di atas ranjang dan berusaha untuk tidur.
Aku sadar bahwa aku tidak dapat bertindak apa-apa dalam hal ini.
Hal terbaik yang bisa kulakukan adalah berusaha tidur cepat dan bangun lebih awal esok pagi.

Alasan mengapa aku memilih untuk diam di kamar adalah tebakanku bahwa tidak ada yang menyadari kehadiranku.
Manusia, mayat hidup, orang terinfeksi? Aku tidak tahu dengan jelas.
Namun satu hal, yaitu tidak ada dari mereka yang akan berpikiran bahwa rumah jelek ini berpenghuni.
Dengan kata lain, aku aman bila aku tetap diam.


S

udahlah, lebih baik aku tidur cepat malam ini.

*


Cahaya matahari pun datang dengan cepat. Alarm yang kusetel berdering kencang walau aku sudah terbangun sejak pagi-pagi sekali.
Kedua mata ini sudah terbangun dan terus mengamati jendela sejak pagi buta dan terus menunggu dalam diam.

The Weird Soul ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang