Chapter 43: The Bloody Marry

46 13 6
                                    

"Membunuh seseorang tanpa memastikan apakah ia sudah mati, kalian pasti amatiran," kata Alisya dengan ekspresi dingin dan kejam. Sorot matanya menggambarkan rasa dendam yang selama ini ia pendam.

"Wanita sialan, semua ini harus kau bayar dengan nyawamu!"
Ketujuh orang itu pun langsung membidik Alisya dengan senapan Sub-machinegun PP91 KEDR mereka.

Alisya lalu menghunuskan Reaper dan mengarahkannya ke arah mereka.
"DAN KALIAN JUGA HARUS MEMBAYAR DENGAN NYAWA KALIAN ATAS KELUARGAKU YANG SUDAH KALIAN BUNUH, LEFT HAND KEPARAT!"

"Tembak!"
Orang-orang itu pun segera menarik pelatuk setiap senjata mereka, namun Alisya bertindak lebih cepat.
Ia menunduk dan mengangkat jasad salah satu anggota mereka yang sudah ia potong kakinya, membuatnya sebagai perisai hidup.
Rentetan peluru melesat dan tertanam pada jasad orang itu. Suara tembakan terdengar kencang memenuhi malam yang semula sunyi.
Ia paham bahwa rompi kevlar yang dikenakan mayat itu mampu menahan tembakan 9mm, menjadikannya tameng merupakan pilihan yang efektif dalam pertarungan jarak dekat melawan mereka.

Rentetan peluru itu terus di tembakan, namun Alisya terlihat santai tanpa merasa takut sama sekali.

Sementara itu Silvia hanya berdiam diri dengan ketakutan di kamar. Ia ingin menolong Alisya bagaimanapun caranya, namun di sisi lain ia harus menuruti perintahnya. Lagipula tidak terdapat senjata lagi yang tersisa untuk digunakan.

Sedangkan Andrew juga sedang berpikir keras di rumah yang satunya.
Terdapat senjata Shotgun Jack dalam kotak di bawah ranjang yang bisa ia gunakan lengkap dengan amunisinya.

"Hei Apollo, ada senjata di sini, kau kan bisa menggunakannya, cepat tolong Alisya," ucap Andrew sambil menyodorkan senapan di tangannya kepada Apollo.

"Diamlah!" jawab Apollo yang sedang mencoba untuk tidur.

"Alisya sedang dalam bahaya di sana. Suara tembakan terdengar keras sejak tadi, ia pasti sedang dalam baha--"

"--Karena di luar berisik maka dari itu diamlah. Turuti saja perintahnya tadi, tidak perlu jadi pahlawan!" ujarnya dengan kesal.
Sifatnya seolah kembali berubah penjadi tidak pedulian dan mementingkan diri sendiri seperti dulu.

"Kenapa sikapmu tiba-tiba berubah seperti itu? Kau sungguh-sungguh tidak ingin melakukan sesuatu?" tanya Andrew.
Namun Apollo sama sekali tidak bergeming, ia tetap membelakangi Andrew dan berusaha untuk tidur.

"Baiklah kalau begitu, aku yang akan membantunya. Aku akan melihat kondisi di luar terlebih dahulu." Andrew pun hendak berjalan ke arah pintu depan.
Sebenarnya ia tidak pernah memiliki pengalaman menembak sebelumnya, ia hanya sering memainkan game First person shooter. Walau begitu ia bisa berdiam diri saat temannya sedang dalam bahaya. Setidaknya ia ingin berusaha.

Belum sempat ia berjalan, langkahnya terhenti oleh tangan Apollo yang yang menarik bahunya ke belakang. Apollo lalu merebut Shotgun itu dari tangan Andrew dengan wajah dinginnya yang terlihat kesal.

"Ketahui tempatmu. Kau lemah dan tidak akan dapat membantu, kau justru hanya merepotkan. Dan tidak perlu menjadi seorang pembangkang. Ikuti saja kata-kata Alisya," kata Apollo dengan nada datar.
Ia lalu kembali ke tempat tidur dan memeluk Shotgun itu sebagai bantal.

Kini Andrew tidak dapat berbuat apa-apa, begitu juga Silvia yang hanya meringkup ketakutan sambil menutup kedua telinganya.
Yang dapat menyelamatkan Alisya dari para orang-orang Left Hand itu hanyalah dirinya sendiri.
Ia harus membunuh mereka semua sebelum mereka membunuhnya.

Alisya terus berada dalam posisi bertahan menghadapi rentetan peluru yang terus menghujaninya.
Tameng mayat yang ia gunakan pun mulai tidak berguna dengan setiap proyektil yang mulai dapat menembus daging mayat itu.

The Weird Soul ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang