Chapter 35: Aldebaran

50 13 0
                                    

Aku yang baru saja melihat Apollo yang bergegas ke dalam bertanya-tanya kenapa ia buru-buru begitu. Tapi aku memutuskan untuk bersikap acuh tak acuh dengan itu, karena memang Apollo itu sulit untuk diprediksi.
"Mungkin dia kebelet buang air," kataku dalam hati sambil melanjutkan memakan sebungkus keju parut di tanganku dengan santainya.

Suasana aneh, Rumah menjadi agak sepi dengan aku yang hanya berdiam diruang tamu sendirian. Sepi, seolah Apollo tidak pernah masuk tadi.

"Aneh," itu kata yang terbesit dalam pikiranku dengan semya kesunyian ini.
Jika ia buang air pun, pasti ada suara air bergemericik dari kamar mandi. Tapi nyatanya tidak.

Tetapi tak lama kemudian, terdengar suara Apollo berteriak sangat kencang dari ruangan lain yang membuatku sontak kaget.
Pandanganku langsung terarah menuju sumber suara.

"Apa yang terjadi dengannya?" tanyaku dalam hati.

Suaranya yang sangat keras itu membuatku berpikir bahwa ia sedang dalam bahaya atau mengalami hak buruk.
Dengan sigap aku berjalan ke arah kamar mandi untuk memastikan segalanya.

Tetapi suara pecahan kaca menghentikan langkahku. Satu-satunya kalimat yang terbesit di otakku kala itu hanyalah, "astaga, orang ini sebenarnya sedang apa?
Pertama teriakan, lalu gelas pecah."

Aku pun melanjutkan langkahku, perlahan tapi pasti aku berjalan ke arah kamar mandi. Dalam benakku ada sedikit rasa takut mengingat kejadian yang pernah ia lakukan padaku, tetapi semua itu harus kukesampingkan karena mau bagaimanapun ia tetap rekan sereguku.

Ketika aku sampai tepat di depan kamar mandi, pintunya terlihat terbuka.
Perlahan aku berjalan dan mengintip kedalam untuk melihat apa yang sedang terjadi.

Terlihat Apollo yang memandangi cermin kamar mandi yang sudah pecah dengan tangan kanannya yang berlumuran darah. Nafasnya terengah-engah seperti sehabis berlari dengan raut wajahnya yang tidak terlihat bersahabat.

Aku berjalan beberapa langkah ke arahnya dan bertanya, "Hei Apollo, apa kau baik-baik saja?"

Dengan cepat ia menengok ke arahku. Aku sedikit kaget dengan gerakannya yang tiba-tiba seperti itu.
Tetapi raut wajahnya berubah, ia tidak terlihat marah seperti tadi.

"Apa dari tadi ada di situ?" tanyanya padaku dengan ekspresi datar.

"Tidak, ketika aku sampai, semuanya sudah begini. Ngomong-ngomong tangan kananmu itu berdarah."
Ucapku dan berjalan ke arah laci di sudut ruangan.

"Tidak, ini tidak apa-apa,"
Jawabnya dengan nada dingin seperti biasa.

"Sebentar, biar aku lihat apakah Goelaro punya perban dan obat-obatan di sini," ucapku sembari mencari obat-obatan di dalam laci yang berada di sudut adat tembok.

"Nih," akupun memberinya sebuah perban dari laci tadi.

Sebenarnya aku kurang peduli dengan orang yang tidak terlalu kukenal.
Tapi kata-kata Goelaro waktu itu membuatku sedikit sadar, ditambah dengan kenyataan bahwa Apollo memiliki kepribadian ganda yang membuatku agak iba dengannya.

Ia terlihat mencuci tangannya dan mengikat perban itu di tangannya untuk menghentikan pendarahan.

"Kau tadi kenapa bisa sampai memukul cermin hingga pecah begitu?" tanyaku. Aku sengaja menanyakan pertanyaan itu, karena sepertinya tadi itu akibat kepribadian gandanya.

"Aku tidak ingat," jawabnya dengan singkat

"Benar dugaanku, ia lupa kejadian yang baru saja ia lakukan ketika berganti kepribadian seperti waktu itu," kataku dalam hati,

"Mereka sepertinya tidak mau mendengarkanku," pekiknya.

"Mereka siapa?" tanyaku dengan penuh kebingungan.

"Mereka, Altair dan Aldebaran," jawabnya.

Aku hanya kebingungan mendengar kata-katanya.
"Apa ada orang lain tadi?" tanyaku sambil melihat ke arah sekitar.

" Mereka ada di belakangmu sekarang," jawabnya yang sontak membuatku panik. Dengan cepat aku menengok ke belakang, tapi tidak ada siapa-siapa.

"Dia bisa melihat hantu atau bagaimana?" kataku dalam hati.

Untuk beberapa saat aku merasakan kombinasi yang aneh antara ketakutan dan bingung. Kondisinya sekarang sepertinya saat tidak stabil. Aku takut hal yang sama akan terjadi seperti waktu itu

"Ayolah, jangan bercanda, kau membuatku takut saja." kataku.

"Kau sama saja," jawabnya yang membuatku semakin bertanya tanya.

"Sama?" tanyaku. Sekejap bulu kudukku berinding dengan suasana ini.

"Kau menganggap mereka tidak nyata, kau menganggapku gila dan sedang berhalusinasi," jawabnya.

"Tapi memang tidak ada siapa-siapa disini, hanya ada aku dan kau." kataku.

"Kau pikir begitu? Lebih dari itu Sam, lebih dari itu ...." ujarnya. Ia diam membeku tidak bergerak sedikitpun untuk beberapa menit sambil menatapku dengan tatapan kosong.

"Aku tidak suka ini. Ini tidak baik," ucapku dalam hati saat melihat tingkahnya yang menjadi aneh seperti itu.

"Kau pikir begitu? KAU PIKIR BEGITU?" teriaknya sambil mencekik leherku dengan cepat dan menghantam tubuhku ke tembok.

Tangannya yang mencengkram itu seperti tidak mau melepaskan leherku. Aku berdiri tertahan di tembok dan terus mencoba untuk bisa lepas.

Tenaganya sangat kuat, tidak seperti yang kubayangkan sebelumnya. Ini berbeda, ini sudah bukan Apollo yang biasanya. Ini sisi lain yang menyerangku waktu itu.

"Apollo, sadarlah," kataku dengan mencoba melepaskan cekikannya dari leherku.
Tetapi tenaganya semakin besar sampai-sampai dapat mengangkatku dari lantai.

"Aku selalu ingin melakukan ini kau tau?" ucapnya sambil tertawa dengan cekikannya yang bertambah kuat. Gaya bicaranya pun sudah sangat berbeda, ia jadi lebih mirip Alisya sekarang.

"Sial, bagaimana bisa tenaganya bisa sekuat ini? ... Apa mungkin ... Sisinya yang ini dapat menggunakan seluruh potensi kekuatan dalam dirinya?" kataku dalam hati.

Nafasku hampir habis. Dengan cekikannya yang kuat ini jika diteruskan aku tidak akan selamat.

"Lepas," ucapku sambil mencakar-cakar tangannya.

"Lihatlah seberapa menyedihkannya dirimu, kau melindungi dirimu seperti gadis kecil," ucapnya dengan tersenyum lebar padaku.

"AAAH, sialan kau," teriaknya dengan kesakitan dan langsung melemparku ke lantai. Aku akhirnya terlepas dari cekikannya, walau tubuhku harus menghantam lantai dengan keras.

"Tidak kusangka, hal yang kupelajari untuk sekedar iseng waktu itu menjadi berguna sekarang," ucapku.

Saat ia tadi sibuk bicara dan mengejekku yang mencakar-cakar tangannya, aku dengan cepat menusuknya kuat-kuat dengan kuku ibu jariku, tepat di otot antara jari ibu dan jari telunjuknya, menghasilkan rasa nyeri yang tidak tertahankan yang cukup untuk membuatnya melepaskan cengkramannya itu.

"Apa yang barusan kau lakukan?" tanyanya sambil memegangi titik yang kutusuk tadi.

"Kau tidak perlu tau itu, Apollo. Jadi bagaimana? Masih mau dilanjutkan" jawabku yang mencoba untuk berdiri.

"Apollo? Tidak ada lagi Apollo ...," ucapnya sambil berjalan perlahan ke arahku dengan sorot mata seperti ingin membunuh. Ia melangkah sampai tepat di titik di mana kami berdua saling berhadapan.

" ... Hanya ada Aldebaran."

To be continued>>>

The Weird Soul ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang