Chapter 33: Shooting Range

46 15 0
                                    

Esok harinya, aku melakukan hal yang sama seperti kemarin, bangun tidur dan cuci muka saat yang lain masih tertidur lelap. Aku berjalan ke arah ruang tamu dan terlihat Kouksal yang sedang memainkn ponselnya.

"Tumben kaubangun lebih awal," ucapku sambil membuka lemari pendingin dan mencari sesuatu untuk dimakan.

"Aku bukannya bangun lebih awal, aku memang belum tidur," jawabnya.

"Itu menjelaskan kantung matamu," jawabku.
Kantung mata Kouksal yang berlipat dan matanya yang seperti panda itu terlihat begitu jelas.

"Hei Sam, kau membawakan kacang kalengan kemarin, ya?"

"Iya, ada sarden juga sepertinya."

"Iya yang sarden sudah kuhabiskan, sisanya tinggal kacang." jawabnya dengan datar.

"Yang kacang tidak kaumakan? Kau tidak doyan atau apa?" tanyaku sambil menutup lemari pendingin dengan sebungkus roti rasa selai kacang di tanganku.

"Aku alergi kacang," jawabnya.

"Untung kau belum memakan rotinya, ini rasa selai kacang," ucapku sambil tertawa.

"Memangnya selai kacang itu rasanya seperti apa?" tanyanya.

"Memangnya kau tidak pernah macicipinya sekalipun?" tanyaku dengan heran sambil terus mengunyah roti di mulutku.

"Dulu pernah, cuma aku langsung tak sadarkan diri. Padahal waktu itu hanya satu butir yang kumakan," ucapnya.

"Rasanya Asin ... gurih, dan sedikit manis," jawabku.

"Aku ingin mencobanya sesekali walau aku akan mati," ucapnya sambil tertawa.

"Itu bisa-bisa jadi makanan terakhirmu," jawabku.

"Sudahlah aku ingin tidur dulu, selamat pagi." Ia kemudian merebahkan tubuhnya di sofa dan memakai selimut menutupi seluruh tubuhnya.
Ia memang sebaiknya tidur untuk memulihkan energi saat terjaga semalaman.

Aku melanjutkan sarapanku dengan duduk diam dan tatapan kosong. Aku berpikir, "Apa aku harus keluar rumah dan mencari udara segar? Aku terkurung di rumah ini tanpa internet, sangat membosankan kalau aku hanya berdiam diri."
Aku lalu segera memakai hoodieku dan berniat jalan-jalan di luar entah tujuannya apa.

"Astaga, kebetulan sekali, kau ingin keluar," ucap Goelaro dari sofa yang ternyata baru saja terbangun sesaat sebelum aku membuka pintu.

"Iya, aku memang ingin keluar, ada apa?" tanyaku dengan bingung.

"Aku ikut, kita akan ke suatu tempat," jawabnya sambil mengucek-ngucek matanya. Ia terlihat masih lelah.

"Oh yang kau bilang kemarin?"

"Yap," jawabnya sambil memakai jaketnya. Tanpa membasuh wajahnya terlebih dahulu, ia langsung saja berjalan keluar bersamaku.

"Tapi kita akan kemana?" t

"Tempat latihan," jawabnya dengan singkat dan membuatku penasaran.

Kami laku berangkat ke tempat yang ia bicarakan itu dengan berjalan kaki, melewati rumah-rumah dan berbagai bangunan yang sudah di bangun di Valdays Shelter ini. Di sepanjang perjalanan kami melihat banyak orang yang sudah menempati Area seluas lebih dari seribu Hektare ini.
Sebenarnya aku tidak tahu luas pastinya, yang jelas temoat ini begitu luas.

Aku menepuk bahunya dari samping.
"Hei Goelaro, apa semua orang-orang ini dari Weird Soul?" tanyaku dengan pelan.

"Rata-rata iya, hanya sedikit dari mereka yang merupakan warga sipil, mungkin memang karena ini dibangun oleh Weird Soul. Mungkin presiden atau kepala negara lain sudah mati sebelum sempat berlindung," ucapnya sambil sedikit terkekeh.

The Weird Soul ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang