Chapter 37: Confess

55 15 0
                                    

Beberapa-jam kemudian yang lain pun pulang dari jalan-jalan keluar, sedangkan Apollo tertidur di kamar tanpa mengingat kejadian apapun yang baru ia alami.
Di ruang tamu terlihat Goelaro yang sibuk mengelap senjata apinya; Andrew dan Kouksal yang sepertinya sedang bermain Game di ponsel mereka.
Walaupun aku duduk di antara mereka, tapi untungnya mereka tidak menyadari luka-luka di tubuhku ini akibat pertarungan tadi.

"Goelaro, kau habis ngapain aja di luar tadi? Lama sekali," tanyaku.

"Aku dan yang lain tadi hanya jalan-jalan biasa. Kami juga latihan menembak sebentar," jawabnya.

"Wah, aku tidak diajak," kataku.

"Tadi sudah kuajak, kau tadi kan memilih di rumah saja," ucapnya.

"Kau tidak menceritakan soal latihan menembaknya tadi, tapi yasudahlah," jawabku dengan sedikit jengkel.

"Ini saluran TV tidak ada sinyalnya atau gimana?" ucap Kouksal sambil menekan-nekan tombol remot berulang kali.

"Dunia luar sudah kacau, stasiun televisi sudah ditinggalkan pegawai-pegawainya, kalau radio mungkin masih ada," jawab Goelaro.

"Sial, padahal aku ingin nonton film," ucap Kouksal dengan kesal.

"Hei, jadi main tidak," tanya Andrew pada Kouksal.

"Iya-iya sebentar tunggu aku," jawab Kouksal yang buru-buru menghampiri Andrew di sofa.

"Bukannya tidak ada internet ya?" tanyaku.

"Kami bukan main game online, ini ludo," jawab Kouksal.

"Astaga, sepertinya bosan sekali mereka," kataku dalam hati.

Aku pun menoleh ke arah luar jendela. Di luar sore hari sangat cerah dengan hembusan angin yang tenang.

Mungkin aku harus keluar dan jalan-jalan sebentar. Aku juga sepertinya harus berlatih menembak juga agar terbiasa seperti yang dikatakan Goelaro waktu itu.

"Aaa Goelaro, boleh pinjam pistol dan amunisimu? Aku mau latihan sendiri di lapangan," ucapku.

"Seriusan, sore hari seperti ini?" tanyanya.

"Tenang saja, aku belakangan ini memikirkan cara berlatih yang cocok untuk diriku sendiri. Aku akan pulang saat malam."

"Baiklah, awas jangan pergi jauh-jauh, takutnya kau tersesat, kau masih belum terlalu mengenal area sini " ucapnya sambil memberikanku sebuah pistol dan amunisi yang biasa kami gunakan untuk berlatih.

"Iya tenang saja. Kalau begitu aku pergi dul--"

"Sam!" Andrew memanggilku dan menghentika langkah kakiku saat itu.

Sontak, aku pun menoleh kembali ke arahnya.
"Apa? Ada apa?"

"Aku menemukan film dokumenter keren pada file Sconolop kemarin, setelah berlatih kau harus menontonnya."

Perkataannya itu seolah menggambarkan senyuman di wajahku.
"Ya, tenang saja, aku pasti akan menontonnya nanti."

"Baiklah, aku pergi," ucapku sambil menutup pintu.

Begitu aku melangkahkan kaki di luar, aroma udara segar langsung tercium di hidungku, ditambah dengan suasana sepi di sore hari memang selalu menenangkan. Ini lebih baik daripada di dalam rumah terus tanpa melakukan apa-apa.

Aku pun melangkahkan kaki, berjalan di antara rumput-rumput yang hijau. Suasananya tidak ada yang berbeda ataupun mencurigakan. Semua orang melakukan aktivitas dan urusan mereka masing-masing.

Sejujurnya, langkahku ini tidak jelas arahnya. Aku hanya berjalan-jalan dan mencari udara segar di sekeliling kota sampai malam tiba.

Langkah pun membawaku ke sebuah taman besar dengan bangku-bangku taman di sekelilingnya serta air mancur besar di tengahnya.

The Weird Soul ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang