Chapter 44: Rest In Peace

55 13 8
                                    

Suara tembakan tiba-tiba terdengar dengan keras di tengah langkah kami.
Aku cukup asing dengan suara kali ini. Walau aku akhir-akhir sering latihan menembak, namun aku belum pernah sama sekali mendengar suara tembakan yang sekeras ini sebelumnya.

"Tembakan?" tanya Kouksal yang sejak tadi berlari dengan cepat di depan kami.

"Sepertinya begitu, kuharap kita tidak terlambat," jawab Goelaro dengan singkat.
Keringatnya terus mengucur deras semenjak mendengar perkataan orang aneh itu.
Bukan, ia bukan kelelahan. Ia ketakutan.

Lari mereka berdua pun semakin cepat karena rasa khawatir yang kian memuncak.

Dengan bergegas kami mencoba kembali ke rumah dengan secepatnya.
Mereka bisa saja sedang dalam bahaya di sana. Ditambah dengan suara tembakan barusan, aku hanya berharap tidak terjadi sesuatu yang buruk.

Langkah kakiku seketika terhenti saat kami sampai di jalanan lurus di depan rumah.
Terdapat banyak mayat orang-orang berseragam, sama seperti seragam orang-orang yang menembaki kami waktu itu.

Terlihat ada seorang dari mereka yang masih hidup. Ia berdiri tegak membelakangi kami sambil berbicara dengan seseorang dalam alat komunikasi, menginjak tubuh Alisya yang bersimbah darah dan tergeletak tidak berdaya di bawah kakinya.

"Ya, sisanya bagaimana? Lalu mayat-mayat ini?"

"Brengsek!" ucap Goelaro dengan pelan.
Keringatnya mengucur semakin deras, sampai-sampai seluruh tubuhnya kini bayah kuyup.
Kedua tangannya yang mengepal dengan kuat itu benar-benar menggambarkan emosinya yang kian memuncak.

Ia dengan cepat berlari ke arah orang itu dengan hasrat membunuh yang kuat.

"Wah, ia mulai lagi," kata Kouksal.

"Tunggu, jangan tinggalkan aku, aku akan menyu--"
Belum sempat ia melanjutkan ucapannya, Goelaro sudah mencekik leher orang itu dengan kunian Rear naked choke hingga ia tidak bisa melanjutkan kata-katanya.

Kouksal lalu dengan sigap berlari ke arah Goelaro untuk membantunya.
Dari posisi cekikan itu tidak disambung dengan bantingan ke belakang seperti waktu itu, namun hanya sapuan kaki untuk menjatuhkan lawan.
Ia seolah belum ingin membunuh orang itu.

Dari posisinya yang sudah terjatuh di tanah kini giliran Kouksal yang menguncinya orang itu agar tidak melarikan diri.

"Le-lepaskan aku!" kata orang itu yang masih meronta-ronta saat tangannya hendak Kouksal ikat.

"Diamlah!" jawab Kouksal sambil membenturkan wajah orang itu dengan tanah.

Goelaro lalu menghampiri Alisya yang sudah tidak bergerak sejak tadi. Dengan cepat ia menolongnya dengan pertolongan pertama pada luka-luka tembak di tubuh Alisya.

"Alisya, kau tidak apa-apa? Alisya Alisya!"

Namun tak sepatah kata pun yang Alisya ucapkan. Nafasnya terputus-putus dengan kondisi tubuhnya yang sudah tak berdaya.
Ketika kulihat dengan lebih seksama, ternyata terdapat lubang besar yang menembus saluran pernapasannya dari samping.

Itu jelas bukan luka yang dihasilkan oleh proyektil biasa. Satu-satunya yang bisa membuat luka separah itu adalah senapan penembak jitu.

"Keparat-Keparat itu, Keparat-Keparat itu benar-benar ingin membunuhnya sejak dulu," ucap Goelaro dengan tatapan kosongnya ke arah leher Alisya yang mengalami luka serius.

Kouksal yang melihat kondisi temannya itu hendak memberitahu Goelaro bahwa Alisya sudah tidak dapat tertolong dengan luka yang separah itu.

"Goelaro, Alisya sudah--"

The Weird Soul ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang