Part 17

1.2K 159 7
                                    

"Kau habis menjenguk Jieun lagi Hyung?" Lelaki yang berpipi gembil itu membalas dengan mengangkat alis.

Kemudian tidak ada lagi yang berbicara. Satu pemuda berparas manis menuangkan soju ke dalam gelas minumnya. Sung woon peminum yang hebat, empat botol soju tidak akan membuatnya mabuk malam ini. Meski wajahnya telah memerah, meski dia sudah cegukan, tetapi hanya cinta yang bisa membuatnya mabuk. Menjijikan. Namun begitu adanya. Sung woon tidak minum untuk mabuk. Hanya sebagai pelarian kekesalan saja.

"Haaaah." Sedikit suara yang dikeluarkan sebagai tanda dia sedang melupakan semuanya, bukan untuk benar-benar lupa. Hanya dia ingin malam ini sedikit tenang. Tanpa ada bayang-bayang menyakitkan tentang seseorang yang terbaring tak berdaya di brankar rumah sakit, di ruang ICU.

"Bukankah kau juga kesakitan?" tanyanya pada Dongsaeng yang menemani minum malam ini.

Pria yang sedikit mirip dengannya, hanya lebih tinggi beberapa senti menarik napas panjang dan menghembuskan dengan sedikit berat. Sepertinya dasi yang masih terpasang apik di leher itu lama-lama mencekiknya. Dia menarik bagian pangkal kain sedikit turun lalu membuka kancing bagian atas menampilkan dada putihnya.

"Kau tahu aku Hyung." Pemuda dengan surai hitam yang sedikit memanjang menatap Sung woon dengan senyuman getir.

"Terima kasih."

"Hah?"

"Terima kasih kau sudah menjaganya, Jimin." Pemuda Park itu menunduk sedih. Dia tahu bahwa ucapan itu hanya untuk mengalihkan rasa kecewa.

Keduanya kembali diam. Membiarkan angin di penghujung september berhembus menerpa kulit. Udara sedikit dingin. Tetapi mereka sudah minum banyak soju, dan sepertinya tidak akan membuat mereka masuk angin.

"Apa yang ingin kau lakukan setelah ini Hyung?"

Dia berpikir sejenak. Bukan karena mempertimbangkan sesuatu, hanya saja dia tidak tahu apa yang musti dikatakan.

"Tidak ada."

Pemuda Park sedikit tertawa. Hanya suara tawa hambar. Kontras sekali dengan kepribadiannya yang ceria. Belakangan ini semburat kemerahan di pipinya sudah memudar. Semakin hari pemuda itu juga semakin kurus.

"Bagaimana pemeriksaan kesehatanmu?" Sung woon mengalihkan perhatian. Membahas Jieun yang belum sadar paska operasi selalu saja membuat mereka melankolis. Dia hanya tidak tega menambah beban pria di depannya.

Lama terdiam, Sung woon pada akhirnya tahu, Park Jimin tidak ingin membahas masalah itu. Tidak juga ingin diingatkan. Dia baik-baik saja.

"Kau harus tetap hidup Jimin." Mereka berdua tertawa. Sebenarnya tidak ada yang lucu karena pertanyaan itu bukan suatu lelucon.

"Kalau melihatmu yang begini, daripada Jieun dan aku, sepertinya kau yang lebih dulu menemui Tuhan."

"Kurang ajar." Mereka kemudian kembali menghabiskan satu botol lagi malam itu dengan selingan obrolan tidak penting, seperti dua orang putus asa yang menguatkan satu sama lain. Konyol memang.

*

Sejeong berhasil menggendong Taehyung sampai ke kedai makanan. Mereka sepakat untuk mengisi perut dulu sebelum pulang ke apartemen.

Di depan mereka tersedia kimbab, Gogigui, dan tentu saja kimchi—tapi untuk yang satu ini hanya dimakan Sejeong karena Jungkook dan Taehyung tidak bisa makan makanan pedas.

"Mau mati rasanya," keluh Sejeong ketika pramusaji baru saja meninggalkan meja mereka. Menggendong kakaknya dari dalam stasiun ke kedai tentu saja menguras tenaga meski kedai makanan terletak tak jauh hanya sekitar seratus meter dari depan stasiun.

My Ghost Girlfriend [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang