Yang sopan ya, kalau ngebaca itu jangan lupa kasih vote. Kalian kan gak tahu gimana ngetik sambil mikir.
****
"Selamat ulang tahun, Jieun."
Kemudian dia terisak setelah mengatakan itu. Tidak bisa menahan kesedihan sebab tubuh yang hanya dianggap 'hidup' di depannya sama sekali tak memberi harapan. Semakin hari kondisinya semakin buruk. Bahkan terlihat menipis. Mungkin karena hanya mendapat asupan dari infus.
Seorang pria bergerak memeluk tubuh wanita yang kini kehilangan daya. Mereka sudah mengusahakan segalanya, tetapi bukankah semua kembali pada kehendak yang memiliki hidup?
"Dia tidak mau bangun," adunya pada sang suami seraya menyembunyikan wajah di dada pria itu. "...Jieun kita tidak mau bangun."
Tangan pria yang tadinya tergantung lemas kini terangkat mengelusi rambut istrinya. Dia juga sakit melihat anak semata wayangnya kini hanya bisa hidup lewat banyak selang di tubuhnya. Tetapi dia tidak boleh terlihat lemah di mata istrinya, sebab mereka harus saling menguatkan ketika menghadapi situasi seperti ini.
Dokter telah mengusahakan semampu mereka jadi semuanya kembali pada takdir yang entah akan berujung bahagia atau hanya sia-sia.
"Kau saja yang berdoa dan tiup lilinnya." Suara pria itu terdengar lemah. Sejak mereka datang ke Seoul karena mendengar kabar buruk tentang putrinya—kondisi kesehatan mereka tidak diperhatikan lagi. Semua fokus hanya pada kesadaran Jieun, meski dokter bilang kemungkinannya kecil. Kalau pun bisa, tentu tidak bisa berharap dia memiliki ingatan penuh.
"Hapus air matamu, sebentar lagi Jimin datang. Kau tahu, kita tidak boleh membebaninya, oke?" titahnya.
Wanita itu mengambil tisu yang berada di atas nakas lalu menghapus air mata dan mengeluarkan cairan dari hidung. Hari ini seharusnya mereka merayakan ulang tahun Jieun bersama dengan anak itu yang akan tertawa seharian karena senang sebab orang tuanya meluangkan waktu untuk berkumpul. Juga Jimin dan Sungwoon yang akan berada di sisinya. Sekarang, jangankan tawa melihat perempuan itu tersenyum saja seperti menunggu orang Eskimo berhasil bercocok tanam di salju.
Semuanya sebab kecelakaan itu. Ia merenggut putrinya, kebahagiaan di keluarganya. Namun, pada siapa mereka harus marah atau pada apa?
Jika nyatanya takdir buruk itu memang tertulis pada alur hidup Jieun.
"Kapan Jimin kemari?" tanyanya setelah tangis berhasil mereda.
"Sedang dalam perjalanan...," ucapnya sambil meraih sebuah foto dalam bingkai di mana dia, istrinya, Jieun dan juga Jimin—calon menantu mereka—terlihat tersenyum. Itu adalah foto ketika Jieun lulus kuliah. "Anak itu yang paling terpukul, kasihan."
Jimin yang membawa foto ke rumah sakit. Katanya kalau Jieun tidak bangun, maka mereka bisa berbicara dengan foto itu.
"Jieun kita beruntung, bukan?" Wanita itu mengelusi wajah anaknya yang terbaring pucat. Kini tidak ada rona yang dulu hampir setiap hari menghias pipi Jieun, sebab anak itu selalu bercerita tentang Jimin dan rencananya mengejutkan pria itu, meski pada akhirnya hal itulah yang membawa Jieun tidak lagi dapat membuka mata seperti sekarang. Tidak untuk mengatakan bahwa dia mati, hanya saja tidak hidup, jadi apa bedanya?
"Eomonie, Abeoji...," panggilnya setelah membuka pintu lebar-lebar. Sedikit dia melemparkan senyum lalu beralih mengecup pipi Jieun. "Selamat ulang tahun." Jimin berbisik di telinga.
"Kau terlihat senang, ada apa?" tanya wanita itu ketika melihat Jimin lebih ceria dari yang sebelumnya. Mereka semua terpukul dengan kejadian yang menimpa Jieun, dan Jimin yang bersedih menjadi penambah penderitaan mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Ghost Girlfriend [END]
No FicciónJeon Jungkook jatuh cinta pada arwah yang tersesat dan tanpa sengaja ikut dengannya. Jungkook x IU