"Dengar, Jungkook, dengar." Namjoon dengan frustasi mencoba mendapat perhatian dari sosok yang saat ini tengah mengepalkan tangan erat-erat. Yang lebih tua tahu bahwa segala tindakan yang diambil karena emosi tak akan berujung baik. Dan Jungkook yang dikuasai amarah berisiko tinggi membuat kekacauan.
"Aku bukannya tidak mau melibatkanmu dalam rencana." Tangan pemuda Kim bergerak menghalau jarak di antara mereka. "Kau, bagaimana pun memang harus terlibat."
"Hyung, nyawa Appaku sedang dipertaruhkan dan kau selalu memintaku untuk bersabar?" Yang lebih muda berujar tegas, agak menggertak sebab mengontrol emosi.
"Tidak. Dengarkan aku dulu, Letnan Seokjin sudah menghubungiku, dia bilang, bahwa dia sudah siap dengan tim-nya. Kita harus bekerja hati-hati, Jungkook. Ini masalah serius."
Kini pemuda Jeon terduduk lemas. Dia sudah tidak tahu apa yang harus dilakukan. Dalam kepalanya berkecamuk banyak hal. Dia bingung. Namjoon benar, mereka tidak boleh terburu, karena bagaimanapun isu terorisme akan mempertaruhkan nama baik negara, belum lagi jika menyangkut sebuah paham agama.
Dan Namjoon sudah melakukan banyak hal untuknya. Padahal ini masalah Jungkook, tapi pria itu mengambil alih tujuh puluh persen pekerjaan yang seharusnya pemuda Jeon lakukan. Tanpa meminta imbalan.
"Maaf, Hyung." Sekarang Jungkook lebih tenang. Dia sudah tidak lagi mengeras seperti tadi ketika Namjoon mengatakan bahwa mereka harus menunda rencana sampai dua hari dengan alasan keselamatan banyak orang.
"Tidak apa-apa." Namjoon membalas kemudian duduk di kursi seberang yang berhadapan dengan Jungkook.
"Kau tahu, terkadang aku sendiri bertanya bagaimana diriku bisa mempercayai hal bodoh semacam ini. Aku lulus dengan IPK tiga koma delapan, tapi dengan bodohnya justru percaya dengan bacaan."
Mata Jungkook kini terarah pada yang lebih tua. Mereka sudah sama-sama menenangkan emosi dan menurunkan ego.
"Tapi benar, terkadang logika bisa menipu. Saat kita merasa bahwa pemikiran seseorang segaris lurus dengan pemikiran kita, maka kita akan lebih mudah menerima segala pendapat dia." Namjoon menghela nafas panjang. Menyenderkan punggungnya pada sofa agar lebih rileks. "Aku menyesal sudah menemuinya. Aku menyesal pada tahun-tahun di mana aku berada dalam lingkaran sesat itu."
Terlihat sekali ada raut kekecewaan di wajah pemuda Kim di depannya dan Jungkook dibuat bungkam sebab tidak tahu harus menyampaikan apa. Takut memperburuk suasana.
"Lalu bagaimana, Hyung?"
Hening. Namjoon tak memiliki jawaban untuk pertanyaan Jungkook, bahkan untuk dirinya sendiri pun dia tidak punya.
"Letnan Seokjin tidak akan mengizinkan warga sipil terlibat. Juga... karena ini kasus yang tidak boleh sampai diketahui wartawan, maka, mereka akan melakukannya dengan hati-hati."
Dapat Namjoon lihat wajah Jungkook yang terlihat bingung karena nasib pemuda itu juga tak lebih baik dari pria yang lebih muda. Sebab, Namjoon, bagaimanapun adalah bagian dari mereka. Entah Seokjin akan menjadikannya sebagai tersangka juga atau justru menjadikannya sebagai saksi. Namjoon tidak tahu bagaimana nasibnya.
Mereka kemudian diam. Terlarut dalam pikiran masing-masing. Begitu banyak hal yang mereka khawatirkan.
"Jungkook." Tiba-tiba ada suara melengking yang membuat perhatian dua orang teralihkan. Halsey bersama Eunji berdiri tak jauh dari mereka.
Mata kedua pria itu melebar. Terkejut sebab kemunculan dua mahluk yang secara tiba-tiba entah darimana, meski sebenarnya mereka tidak perlu terkejut karena dua hantu itu tentu bisa muncul kapan saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Ghost Girlfriend [END]
Non-FictionJeon Jungkook jatuh cinta pada arwah yang tersesat dan tanpa sengaja ikut dengannya. Jungkook x IU