"Oke. Aku di tempat Elana, jemput di sini aja nanti."
"Theo ya Sha?" Perempuan yang di panggil Sha itu menganggukan kepalanya sebagai respon dari pertanyaan temannya begitu ia menutup sambungan telepon yang barusan ia terima.
"Lo udah bisa nerima dia? Maaf Sha, nggak maksud lancang tapi pernikahan kalian udah mau enam bulan. Ah maksud gue, lo baik-baik aja dengan status suami istri kalian?" Perempuan bernama Marsha itu kemudia tertawa karena melihat temannya yang terlihat takut salah bicara itu.
Elana, teman Marsha terlihat sedikit was-was dengan respon temannya itu dengan pertanyaan yang ia lontarkan barusan.
"Ya baik-baik aja. Lo lihat sendiri gue sehat." Jawab Marsha kemudian.
Elana mendengus.
"Lo tahu maksud gue bukan soal kesehatan lo ya."
Marsha tampak berpikir sejenak.
"El kalau yang lo maksud gue udah bisa beradaptasi atau belum, jawabannya udah. Tapi kalau maksud lo soal perasaan gue ke Theo maka jawabannya gue juga nggak tahu."
Elana menatap bingung ke temannya itu. "Gimana sih?" Balasnya.
"Gue bingung aja perasaan gue ini sebenarnya gimana. Gue masih menerka-nerka sih rasa perduli gue ke dia itu beneran cuma bentuk perduli karena kami hidup bersama atau emang karena perasaan itu udah tumbuh di gue."
"Bentar."
Getaran dari ponsel Marsha membuat Elana yang tadi ingin bicara terhenti karena temannya itu mau menjawab panggilan yang masuk.
Elana menatap temannya itu penasaran lantaran raut wajah Marsha yang kelihatan sedikit panik saat berbicara dengan orang yang menelponnya.
"Dia di mana? Lo bisa nggak anterin gue ke dia?"
"...."
"Oke, thanks Er. Gue ada di tempatnya Elana, gue tunggu lo di sini."
Marsha segera membereskan barang-barangnya tepat setelah teleponnya terputus, ia tampak sangat tergesa-gesa yang membuat pertanyaan muncul dari Elana.
"Nanti gue jelasin, El. Gue harus pergi sekarang." Yang di balas anggukan oleh Elana walau ia masih menyimpan tanda tanya di kepalanya soal apa yang terjadi sampai Marsha kelihatan sepanik ini.
***
Marsha bernafas lega begitu matanya melihat sosok Theo – suaminya. Ia segera turun dari boncengan motor Erlan – teman yang tadi menelponnya.
"Makasih yang Er." Ucapnya sembari memberikan helm Erlan yang tadi ia pakai dan segera berlari menghampiri Theo yang duduk di trotoar depan kantor polisi.
"Theo." Panggilnya begitu ia sampai di hadapan laki-laki yang tampilannya cukup kacau itu dan itu sukses membuat Marsha semakin khawatir.
Theo yang tadinya menunduk mendongak untuk melihat orang yang memanggilnya.
"Sha." Marsha meringis mendengar suara Theo yang memanggilnya dengan sangat pelan itu.
"HP lo kok di matiin sih? Gue daritadi nelponin lo tahu nggak."
Marsha selama di perjalanan memang menelpon Theo terus menerus tapi panggilannya tak ada satupun yang terjawab dan itu membuat ia semakin khawatir dengan keadaan laki-laki itu.
Theo tidak menjawab, ia malah menangis dan menggumamkan kata maaf kepada Marsha. Marsha menarik nafas panjang sebelum akhirnya ikut duduk di samping Theo kemudian memeluk suaminya itu.