Demi apa. Lumayan juga nih cowo.Gravie memperhatikan sambil menarik sebelah sudut bibirnya.
"Barang lo," katanya datar.
Namun gadis itu gagal fokus untuk sekedar memahami. Sibuk ingin melihat jelas wajah di hadapannya itu.
Cowok itu berdecak, lantas menunduk membuat gadis itu menatap sembari menebak apa yang akan dilakukannya. Tangannya kemudian terulur menyerahkan ponsel dan kantong plastik bersikan pembalut yang sempat dibelinya tadi.
"Oh--" Gravie tiba-tiba berhambur ke pelukan cowok asing itu, melingkarkan tangannya erat. "HUHUU thanks lo udah bantu gue, gue takut banget tadii.."
Cowok itu mendorong bahu gadis itu melepaskan pelukan sepihak, sepasang matanya menatapnya dingin.
Gravie mengernyit. Apa?
"Jadi cewe jangan suka berkeliaran malam-malam. Kecuali lo emang suka dikira cewe nggak bener."
"Sorry?" Gravie merasa tersinggung dengan kalimat cowok itu. Pertama, ia menatap seolah dirinya hanya orang-orangan. Kedua, ia berani menceramahinya.
Cowok berhoodie--yang wajahnya belum terlihat jelas karena terhalang penutup kepala dan cahaya yang minim itu--kini berbalik acuh melangkah meninggalkannya begitu saja.
Hei!
"Wait!" Gadis itu menyusul.
Waktu yang mulai bergerak menuju ke dini hari bahkan tak membuat dirinya goyah."Nggak bisa bahasa indo?" Cowok itu menyahut tanpa menoleh.
"Yang tadi itu apa? Ceritanya lo nyelamatin gue kan?" Gravie menyamakan langkahnya dengan cowok itu. Meskipun sempat takut, ia masih sangat penasaran dengan sosok di sebelahnya ini.
Alih-alih menjawab, langkahnya justru terhenti, otomatis gadis itu pun mengikuti. Ia berdecak tak mengerti apa yang sedang dilakukan cowok itu. "Heloo.. ada orang di sini nihh.."
Cowok itu sontak menoleh, cahaya lampu kendaraan yang melintas membuat Gravie dapat melihat jelas lekuk wajah cowok tersebut. Tangan kanannya terlihat keluar dari kantung hoodie dan menyingkapkan penutup kepala yang sedari tadi bertengger disana.
Untuk kedua kalinya Gadis itu tertegun. Tuh kan, dirinya memang tak pernah salah mengira.
Rambut hitam legam, rahang tegas di kedua sisi wajah yang terpahat sempurna, hidung mancungnya pas diatas bibir penuh sedikit gelap itu.
Ada bekas luka dengan plester menghiasi pelipis kirinya.Perhatian Gravie berhenti pada kedua mata elang yang memandangnya lurus. Untuk pertama kalinya ia tidak menemukan tatapan kagum atau memuja seperti yang biasa ia dapatkan. Tatapan itu biasa, benar-benar biasa untuk cowok yang pertama kali melihat dirinya.
Bagaimana bisa?
"Masuk!"
"Eh?" Gravie menatap tak mengerti, kemudian mengikuti arah pandang cowok itu dan lagi-lagi terheran karena sebuah taksi telah berhenti disana. Ah, jadi itu tujuan mereka berdiri disini.
Bukannya segera menaiki taksi, gadis itu kini melipat kedua tangannya di dada dengan ekspresi angkuh khasnya, "Lo siapa? Pengagum rahasia gue."
Tatapan datar cowok itu berubah mengeras. Bayangan mengenai tonjokan tadi seketika kembali melintasi benak gadis itu. Sepertinya dia tidak main-main.
Tangan kiri Gravie yang masih terlipat disentakkan keras sehingga tubuhnya maju nyaris menubruk dada cowok itu, sementara yang menarik masih belum merubah ekspresinya.
Tangan besar cowok itu tiba-tiba menyentuh tengkuknya, Gravie menelan liur merasakan hebusan napas hangat di wajahnya, entah mengapa ia tidak memberontak. Jarak wajah keduanya kian menipis, sampai ia mendengar cowok itu berdesis di samping telinganya.
"Gue bisa dengan mudahnya ngelakuin apapun yang gue mau ke lo saat ini, tapi sayangnya gue nggak tertarik.."
Gravie nyaris melayangkan tamparan ke wajah cowok itu atas perkataannya barusan, namun semua itu urung saat cowok itu kembali berucap.
"Dan perlu lo ingat, gue nggak pernah ngelakuin sesuatu dengan gratis," lanjutnya kemudian menjauhkan diri dari Gravie, kedua tangannya kembali dimasukkan kedalam kantung hoodie hitam itu.
Gadis itu kembali mengatur napasnya yang entah sejak kapan menjadi tak beraturan. Sial! Cowok itu berhasil menguasai pikirannya.
"Pergi sebelum gue berubah pikiran!!" Perkataan, ralat ancaman berserta tatapan tajam yang masih bertahan itu entah mengapa membuat pertahanan Gravie runtuh.
Gadis itu memberikan tatapan tak kalah sengit sebelum meraih pintu taksi lalu segera masuk sambil membanting pintu keras. Entah apa yang membuatnya kesal, cowok asing yang sialnya tampan itu punya kendali yang lebih kuat darinya.
Setelah mengatakan tujuannya, supir taksi mulai melajukan kendaraan perlahan. Gravie sempat menoleh untuk melihat cowok itu sebelum bayangannya menghilang ditelan malam.
12.39 wib. Layar ponselnya mati setelah menatap waktu yang tertera disana. Gadis itu kini menatap pantulan dirinya dari layar ponsel yang mati, apakah dirinya sudah tidak terlihat menarik?
Bodoh. Mengapa ia ambil pusing dengan perkataan cowok tadi.
Cahaya yang memantul dari luar jendela membuat Gravie menyadari ada sesuatu yang berbeda. Benda yang seharusnya mengkilap akan pantulan cahaya tak terlihat disana.
Tangan gadis itu menyentuh bawah lehernya, meraba sekitaran atas bajunya kemudian merunduk melihat kalung mewah yang biasa berada disana. Benda itu kini menghilang.
Gravie terbelalak lantas menoleh ke belakang, menyadari telah membuat kecerobohan besar. Ia berteriak.
"SIAL! SIAL! PENCURI KAPARATT!!"🍃
Vote + comment!
KAMU SEDANG MEMBACA
DERRY : manusia tanpa cinta [END]
Novela JuvenilBest rank #1 of teenfiction [29 Oct 2022] [15+] Cerita ini mengandung banyak kata-kata kasar, harap bijak untuk tidak ditiru! ** Gimana rasanya jatuh cinta dengan brandalan jalanan berwajah rupawan? Berlarian di bawah langit malam, mengobrol di atap...