Bab 22

3.2K 145 0
                                    

Terlatih tersenyum palsu, berpura-pura berada di kehidupan yang diinginkan banyak orang. Manusia memang semunafik itu.

🍃

Kendaraan berisikan dua orang tersebut melaju dengan kecepatan normal, meninggalkan pelataran Rumah Sakit yang sepi. Situasi jalan malam ini terpantau lancar, sesekali hanya tampak motor kebut-kebutan yang tiba-tiba menyalip.

Belum sampai sepuluh menit perjalanan, gadis yang tengah duduk di kursi sebelah pengemudi itu sudah lebih dari tiga kali memutar mata jenuh. Kalau mungkin, saat ini rasanya ingin sekali ia menyumbat telinganya, sebelum semakin panas.

"Gravie, papa nggak pernah larang kamu belanja, nongkrong atau apalah itu, tapi bukan berarti kamu bebas keluyuran tanpa kenal waktu. Kamu main kan bisa sampai sore, waktu malamnya dipakai untuk istirahat, atau kalau mau belajar lebih bagus.." Pria dengan lengan kemeja yang telah digulung sampai ke siku itu bicara pada anaknya serius.

Sementara si anak masih acuh tak acuh, membuang pandangan ke luar jendela.

Nggak tau aja gue sering keluar malam HAHAHAHA

"Itu apa lagi, rambut dicat-cat begitu, hah. Mau masuk BK lagi kamu?" Domio menghembuskan napas tak habis pikir, "Gravie.. Gravie.."

Gadis itu beralih menghadap ayahnya, "Ini tuh biar keren, Pa. Temen-teman aku aja belum ad--"

"Papa nggak pernah minta kamu jadi keren!" potong Ayahnya.

Raut wajah Gravie berubah.
"Apasih yang sebenarnya Papa mau. Papa mau aku gimana lagi?"

"Sayang, jangan berdebat."

"Papa kapan sih bisa dengerin aku? Ngertiin apa yang aku mau, biarin aku nyari kebahagiaan aku sendiri. Oh, ternyata hebat banget ya perempuan itu sampe buat Papa jadi egois gini, apa--"

"GRAVIE!"

Gadis itu langsung terdiam.

"Cukup."

Bentakkan itu lagi. Gravie kembali membuang pandangan ke luar jendela. Untuk kesekian kali ayahnya membentaknya, hanya karena membela wanita yang telah berhasil menciptakan jurang di antara keduanya.

Hebat. Sebenarnya siapa yang harusnya mendapat simpati di sini.

Hembusan napas panjang terdengar mengisi keheningan, entah mengapa Gravie seketika merasakan kasihan pada dirinya sendiri. Bahkan saat bertemu dengan satu-satunya orang yang ia punya, selalu diisi dengan perselisihan dan pertengkaran.

Kapan dirinya bisa merasakan punya hubungan keluarga yang normal.

"Gravie.. Papa nggak bermaksud-- Papa cuma mau melakukan tugas Papa sebagai orangtua. Papa sama sekali nggak berniat melarang kamu mencari kebahagian kamu sendiri selama itu bukan hal buruk. Papa anggap kamu bisa memahami.."

Dirasakannya sentuhan lembut ayahnya di rambutnya. Gravie mencoba menarik banyak oksigen ke dalam paru-paru. Rasanya menyesakkan. Ia rindu sentuhan itu, Gravie rindu menghabiskan waktu berdua dengan ayahnya, ia rindu merasakan kasih sayang penuh seorang ayah.

Tapi untuk saat ini, rasanya mustahil hal itu bisa kembali ia dapatkan. Hubungan mereka sudah tidak sedekat dulu, kini semuanya berbeda.

Keheningan melanda keduanya disisa perjalanan, Gravie sibuk dengan pikirannya sementara Domio memilih fokus menyetir. Hingga ketika memasuki komplek perumahan, akhirnya ayahnya kembali membuka suara.

"Weekend nanti ulang tahun Chesie yang ke satu tahun, ada acara kecil-kecilan di taman belakang rumah. Ya cuma undang orang-orang terdekat dan kelurga aja. Kamu datang ya."

DERRY : manusia tanpa cinta [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang