Second choice, aren't you?
.
Makan malam di restoran mewah bersama keluarga kecil ayahnya itu, ternyata tak lebih baik dari yang gadis itu bayangkan, tempat yang terlalu terkesan formal serta alunan musik lembut sepenjuru ruangan membuat Gravie ingin cepat-cepat pulang.
Sangat membosankan.
Kalau ke tempat ini bersama orang yang ia inginkan mungkin akan berbeda halnya.
"Jadi gimana sekolah kamu?"
Pertanyaan itu lagi, mengapa ayahnya selalu menanyakan hal yang sama secara berulang-ulang.
"Masih sama." Gravie meletakkan garpu dan sendok secara terbalik, "Btw aku masih kesel, karena Papa nggak ngabarin kalo udah pulang."
Domio tertawa singkat, "Kenapa harus ngabarin kalau papa bisa ketemu langsung. Oh iya, kata Wina kamu sempat menginap di rumah pas Papa pergi, bener?"
Gadis itu sedikit terbelalak, matanya langsung melirik wanita dengan dress biru di sana, itu kan sewaktu ia kembali dari kantor polisi. Jangan bilang ibu sambungnya mengatakan pada ayahnya semua yang telah terjadi.
"Jangan malu-malu. Kalau iya bagus dong, berarti kamu ada kemajuan," tambah Domio justru memujinya.
Gravie seketika menghela napas lega, ia kira ibunya sudah tidak bisa dipercaya dan berkhianat, ternyata lumayan juga. Sepertinya berusaha menjadi baik memang tidak ada salahnya.
Mendadak suatu hal melintas di benak gadis itu, "Pa, restoran kita baik-baik aja kan? Maksudnya Papa masih dapet keuntungan kan? Cabang-cabang nggak ada yang tutup kan?"
Domio mengeryit heran mendapat pertanyan yang tidak biasa dari anaknya, Wina yang mendengarnya pun ikut tak mengerti.
"Iya, baik-baik aja. Malahan Papa lagi menyiapkan berkas-berkas untuk membuka cabang baru, makanya kemarin ke luar kota."
"Kalo Mami? Nggak suka ngutang kan? Nggak diem-diem punya hutang kan?"
Wina menggeleng meski masih memasang ekspresi bingung, "Enggak, memangnya kenapa ya sayang?"
"Bagus!" Gravie bertepuk tangan dua kali, "Cuma tanya doang kok," jawabnya santai.
Padahal yang sebenarnya, ia hanya memastikan bahwa ekonomi keluarganya baik-baik saja. Gravie takut hidupnya menjadi seperti Dera.
"Kak, mnum.. ntu," Gadis kecil yang menempati kursi di sebelahnya tampak menunjuk-nunjuk gelas yang tak dapat dia gapai.
Gravie menoleh bingung, anak itu minta tolong padanya? Meja ini kan bentuknya bundar, seharusnya Chesie minta tolong pada ibunya saja yang sama jaraknya.
"Gravie, bantu itu adiknya," perintah ayahnya melihat dirinya yang masih diam.
Gravie meraih gelas di atas meja lantas membantu adik tirinya untuk meminumnya, alih-alih memberi minum, mulut gelas yang lebar serta dirinya yang tidak sabaran justru menumpahkan banyak air hingga membasahi baju Chesie.
"Ehh!" Ia meletakkan cepat gelas ke meja setelah menyadari perbuatannya, "Lo minum apa mandi sih?"
"Ya ampun, kok basah semua.." Wina mengusap mulut, leher dan bagian depan baju Chesie yang benar-benar basah.
"Gravie! Kamu ini apa-apaan, ngasih minum aja sampai basah gitu!"
"Ya maaf nggak sengaja, lagian kan tadi Papa sendiri yang nyuruh."
"Alasan aja kamu." Domio beralih menatap istrinya, "Kamu bawa baju ganti kan? Takutnya malah masuk angin."
"Ada kok mas, di mobil. Biar aku ganti-"
KAMU SEDANG MEMBACA
DERRY : manusia tanpa cinta [END]
Teen FictionBest rank #1 of teenfiction [29 Oct 2022] [15+] Cerita ini mengandung banyak kata-kata kasar, harap bijak untuk tidak ditiru! ** Gimana rasanya jatuh cinta dengan brandalan jalanan berwajah rupawan? Berlarian di bawah langit malam, mengobrol di atap...