Bab 38

2.7K 129 6
                                    

Hidup memang sebuah
panggung drama

🍃

Setelah beberapa kali melakukan sesi foto, acara pun terus berlanjut hingga waktu hampir menuju ke tengah malam. Ketika pertama kali memdengar ayahnya mengatakan acara ulang tahun, Gravie kira itu benar-benar hanya acara perayaan ulang tahun.

Namun, setelah melihat acara terus berlanjut hingga selarut ini, ia mengerti, acara ini mungkin diadakan sekaligus sebagai hiburan bagi ayahnya yang selama ini terlalu sibuk bekerja.

Layar ponsel Gravie menampilkan angka 23.03, lagi-lagi ia menoleh pada ayahnya yang terlihat masih sibuk bersalaman pada beebrapa tamu yang pamit pulang.

Sudah sejak tadi rasanya gadis itu itu menghampiri ayahnya, meminta kunci mobil sesuai perjanjian, meninggalkan tempat membosankan ini, dan bebas melepas kerinduan pada mobil merahnya itu. Namun, hal itu sepertinya harus ia tunda sementara, melihat Domio yang masih sibuk.

Gravie menghela napas pelan,
lantas memutar tubuhnya kembali menghadap meja. Matanya memperhatikan Derry yang tengah memainkan lilin bulat di atas meja, ditusuk-tusuknya cairan lilin yang belum membeku menggunakan tusukan sate.

"Bodoh banget ya jadi lilin. Mau-mauan ngorbanin diri, buat nerangin orang yang mungkin aja nggak bakalan menghargai jasanya sama sekali," celetuk Gravie asal.

Derry melirik gadis itu.
"Mana yang lebih bodoh, si lilin atau orang yang nggak bisa menghargai?"

"Lilinnya lah. Kalo nggak ada jaminan semua orang bakal menghargai dia, kenapa juga harus ngorbanin diri. Kalo gue sih ogah."

Cowok itu mengangguk sembari meletakkan tusuk sate di tangannya ke meja, "berarti selama ini lo nggak pernah berkorban buat orang lain. Lo egois karena terbiasa tinggal sendirian, lo nggak pernah ngerasain berbagi sesuatu ke seseorang. Lo juga mungkin punya hubungan buruk dalam pertemanan."

Gadis itu tertawa tak percaya,
apa Derry baru saja menilai dirinya, "iya, gue mungkin orang yang egois, tapi soal pertemanan sorry ya Der, temen gue banyak."

"Seberapa banyak? Lo yakin mereka semua bisa disebut teman. Dari sikap lo ke yang lainnya tadi aja, gue udah bisa ngitung temen lo ada berapa."

Mengapa cowok ini mulai menyebalkan, memangnya ada apa dengan sikap Gravie tadi. "Lo ngomongin Zerina? Emang dia siapanya lo sih. Sepupu lo juga kah?"

Rahang Derry terlihat mengeras, "bukan. Berhenti nerka hal yang menyangkut hubungan darah ke gue."

Hah?

"Gravie! Nak, ke sini dulu papa mau ngomong," panggilan ayahnya seketika menarik perhatian gadis itu.

Setelah mengatakan akan beranjak sebentar, Gravie segera melangkah meninggalkan meja tempat mereka duduk tadi. Ia baru sadar semua tamu telah pulang.

"Papa mau ngomong mengenai perjanjian kita."

"Ah akhirnya..." Gadis itu bernapas lega.

"Papa berubah pikiran."

"Hah, maksudnya?"

Domio menatap sekilas istrinya yang tengah sibuk mengarahkan asisten rumah tangganya untuk menyimpan kado-kado dari tamu, "iya, setelah melihat sikap buruk kamu tadi, juga orang yang kamu ajak ke sini--"

"Hah emang kenapa sama orang yang aku ajak?" potong Gravie cepat.

"Melihat sikap kamu dan orang yang kamu ajak asal-asalan, artinya kamu nggak serius atas semua ini. Kamu nggak benar-benar mau datang, kamu cuma mau mobil kamu balik. Iya kan?"

DERRY : manusia tanpa cinta [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang