Bagian 2 : What's Wrong with Me

1.4K 156 0
                                    

Aku membuka pintu rumah dan langsung masuk ke dalam. Sepi, seperti biasa. Ya, aku tahu saat ini ibuku sedang pergi. Dialah yang bekerja untuk mencukupi kebutuhan kami. Ayahku? Dia sudah meninggalkan aku dan ibuku untuk selamanya.

Menyedihkan? Tidak juga. Aku sudah lama melupakannya. Asalkan aku tidak mengingatnya lagi, itu tidak akan membuat masalah bagiku.

Seperti biasa, aku langsung masuk ke dalam kamarku dan mengganti pakaian. Setelah itu aku duduk di meja belajarku dan mulai mengerjakan tugasku hari ini.

Ya, seperti itulah kehidupan ku sehari-hari. Tidak ada yang istimewa, tapi aku juga tidak mempermasalahkannya. Karena inilah hidupku dan aku tidak ingin hanya bisa mengeluh.

Selesai mengerjakan tugas, aku merapikan kamarku. Kemudian aku berdiri dan memandang keluar jendela. Tidak ada yang istimewa, masih sama. Terkadang keramaian semacam ini membuatku jenuh dan muak.

Aku mengambil notebook milikku dan mulai menulis beberapa lirik lagu. Tidak ada pekerjaan lain bagiku, seperti inilah kebiasaan ku.

"Yoongi..."

Aku menoleh dan menemukan sosok wanita di depan pintu. Oh?! Ibuku sudah pulang. Baguslah, kupikir dia akan kembali seperti hari-hari sebelumnya, cukup malam.

"Apa yang sedang kau lakukan?" tanya ibuku.

"Tidak ada." bohongku.

Ibuku terdiam sebentar sebelum akhirnya menghela nafas panjang. "Hentikan semua ini, Yoongi. Kita ini keluarga miskin. Sebaiknya kau belajar dengan benar dan menjadi pegawai kantor nantinya."

Ah, inilah yang paling aku benci. Entah sejak kapan aku mulai sering mendengar kalimat ini dari ibuku. Padahal aku hanya ingin sedikit bersenang-senang setelah terkekang. Ini sungguh tidak adil.

Mengapa ibuku sangat menentang keinginanku untuk menjadi seorang musisi? Padahal aku menyukainya. Mengapa aku harus menjadi orang lain?

Apa bagusnya menjadi pegawai kantor? Mimpiku jauh lebih baik daripada itu. Haruskah aku mengikuti ibuku dan berubah menjadi orang yang tidak kukenal?

"Maaf, ibu. Tapi aku tidak bisa berhenti melakukannya." ujarku tanpterja

Dapat kulihat raut wajah ibuku mulai berubah. Aku tahu apa yang akan dikatakannya. Dan aku tahu kenapa dia sangat menentang mimpiku.

"Kita ini miskin, Yoongi. Tidakkah kau merasa kasihan kepada ibumu ini? Tolong hentikan semua ini sekarang juga."

Nah, benar kan. Pasti itu yang dikatakannya. Aku sudah hafal. Entah berapa ribu kali ibuku mengatakan itu. Telingaku selalu berdengung setiap kali mendengarnya.

Aku selalu diam. Tentu saja aku tidak ingin menambah bebannya. Tapi tetap saja kebiasaan dan hobiku ini tidak bisa dihilangkan begitu saja. Aku harap ibuku mau memahaminya. Namun aku rasa harapanku tidak akan mungkin menjadi kenyataan.

Terkadang aku berpikir jika hidupku ini terlalu ironis. Aku tidak menyukai keramaian, tapi hidupku tak pernah luput darinya. Aku tidak bisa melupakan musik, tapi ibuku selalu menjauhkanku darinya.

Aku tidak tahu hal apa lagi yang mungkin akan terjadi di hidupku ini. Mungkin aku harus membenci ibuku sendiri jika aku ingin dia menyayangiku.

Ah, tidak. Tentu saja aku tidak akan melakukannya.

"Maafkan aku." Baiklah, aku tidak ingin berdebat dengan ibuku sendiri. Aku akan mencoba menurutinya. Aku pasti bisa 'kan.

"Kalau begitu kemarikan notebook milikmu."

Aku terdiam sejenak. Notebook? Untuk apa? Ibuku tidak bermaksud untuk membakarnya agar aku melupakan musik 'kan?

"Untuk apa, Bu?" tanyaku hati-hati.

"Kau akan menuruti ibu 'kan?"

"Tapi aku-"

"Cukup, Yoongi. Kemarikan notebook mu." Ibuku bahkan tak menungguku menyelesaikan ucapanku dan langsung menyela.

"Aku tidak akan―"

"Min Yoon Gi..."

Aku terdiam, menunduk dalam. Kupegang notebook itu dengan erat. Tidak. Meskipun harus melupakan musik, aku tidak ingin ibuku menghancurkan semua hasil pikiranku begitu saja.

"Maaf..."

Aku langsung berjalan melewatinya setelah menggunakan kata itu. Ibuku hanya menatapku tak percaya dan mulai meneriakkan namaku, berharap aku akan berubah pikiran dan kembali. Namun tidak, aku tidak ingin menyerahkannya begitu saja.

Aku terus berjalan, tak tahu arah. Aku hanya ingin menjauh dari ibuku untuk sementara waktu. Meskipun ibuku membenci musik, tidaklah seharusnya dia berniat menghancurkan lagu ciptaannya begitu saja. Jujur saja itu terasa menyakitkan bagiku.

Jika saja ibuku tahu, selama ini aku selalu mencoba untuk menurutinya. Aku tidak pernah mengeluh. Aku tidak ingin ibuku susah karena diriku. Namun terkadang wajah datarku ini ingin sekali-kali berganti. Aku pun lelah. Aku ingin tertawa ataupun menangis.

Aku tidak bisa seperti ini selamanya. Aku tidak akan mampu. Tolonglah mengerti. Semua ini berat untukku.

Aku berhenti berjalan, duduk di atas rerumputan di pinggir sungai. Ah, sudah lama aku tidak melakukannya. Kapan terakhir kalinya? Aku ingat, saat ayahku masih tersenyum bahagia bersama kami. Kapan itu? Sudah sangat lama. Aku bahkan tidak terlalu mengingatnya.

Aku ingin sekali kembali ke saat-saat itu. Andai saja aku dapat memutar waktu, aku ingin kembali dan menghentikannya saja. Aku tidak ingin mengalami masa sekarang dan kehilangan ayahku lagi. Aku ingin tinggal di masa laluku. Setidaknya aku ingin bahagia, tidak peduli harus dengan mengorbankan apa.

Egois? Ya, sebut saja begitu. Aku memang egois. Aku adalah laki-laki yang menginginkan kebahagiaan yang tidak pernah kurasakan. Egois? Tentu saja aku egois. Lalu kenapa? Apa aku salah?

Jika boleh memilih, aku tidak ingin terlahir ke dunia ini jika harus merasakan penderitaan semacam ini. Aku malah berharap menjadi batu di kehidupanku yang selanjutnya.

Ahaha. Anggap saja aku gila. Toh aku memang gila.

"Suga hyung?"

Aku menoleh dan menemukan sosok Jungkook di sana. Sejenak di otakku berputar sebuah pertanyaan. Mengapa dia ada di sini? Namun sebelum aku sempat menyuarakan pertanyaanku itu, mataku melihat sosok lain yang terasa familiar di otakku.

Dia―otakku memutar ingatan lama yang sudah hampir kulupakan. Mengoyak luka lama yang sulit disembuhkan di hati ini. Aku tidak pernah melupakannya.

Dia―apa yang dia lakukan saat itu. Apa yang kulihat saat itu. Apa yang dia lakukan kepadaku. Aku masih dapat mengingatnya dengan jelas.

Dia itu―tiba-tiba pandanganku mengabur. Kepalaku berat, sakit sekali. Telingaku berdenging, tubuhku meluruh.

Dia―Dia adalah...


Pembunuh ayahku.

Silence [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang