Bagian 43 : Sudah Berakhir?

702 61 0
                                    

"Jimin hyung!"

Penghuni ruangan itu sontak menoleh begitu mendengar suara yang tak asing. Begitu melihat siapa yang masuk ke ruangan itu, mereka langsung melotot mengintimidasi si pelaku sekaligus orang yang datang bersamanya.

"Ya! Jungkook-ah, kenapa kau ke sini?"

"Yoongi-ya, apa-apaan ini?"

Yoongi mengangkat kedua tangannya lalu berjalan menjauh dan mendudukkan diri di sofa. "Aku tidak ikut campur." ujarnya, mencari situasi yang nyaman untuk meloloskan diri.

Benar saja. Mereka tidak memperhatikannya dan langsung fokus kepada Jungkook yang sedikit terhuyung karena Yoongi tiba-tiba melepaskannya. "Aku tidak apa-apa kok. Lagi pula yang terluka hanya..."

"Hanya?!" ulang Taehyung dramatis. "Apa yang kau lakukan, hah? Kami panik setengah mati dan kau bisa setenang ini ketika membicarakan lukamu? Ah, jinjja."

"Aku bukan..."

"Kau melukai dirimu sendiri? Jangan konyol, Jungkook-ah. Kami takut sekali. Kau tahu seberapa dalam lukamu itu."

"Hyung, aku..."

"Berhenti membela diri. Kau salah dan kau harus menyadari itu. Tidak bisakah kau berhenti membuat orang lain panik? Kenapa kau sering sekali terluka?"

Jungkook hanya menatap bingung kepada orang-orang itu. Apapun yang mereka katakan terlalu sulit untuk ditangkap karena suara yang saling bersahutan. Dan yang terpenting apakah tidak ada yang ingin membuat Jungkook duduk terlebih dahulu sebelum memarahinya?

"Hyung, sudahlah. Biarkan Jungkook duduk." kata Jimin menengahi suara-suara yang tumpang tindih tak beraturan itu.

"Benar, hyung. Aku lelah berdiri terus." sahut Jungkook cepat.

"Aissh."

"Hyung, kalian tidak lapar? Ini sudah jam makan malam. Pergilah keluar dan belikan aku makanan juga." sebelum ada yang mengomel lagi Jimin segera mengatakan itu.

"Oh, benarkah?" untunglah Jin mengerti. "Kau ingin kubelikan apa, Jimin-ah?"

"Terserah, apa saja."

"Jungkook-ah, kau ingin sesuatu?"

"Belikan aku makanan yang sama seperti Jimin hyung."

"Baiklah." Jin menoleh ke arah empat dongsaengnya yang lain. "Dan kalian, ayo pergi. Kali ini aku akan membayar makanan kalian. Jadi cepat bangun!" ucapnya.

Hoseok, Namjoon, dan Taehyung langsung berdiri. Tapi Yoongi tetap diam di tempatnya, tidak bergerak sama sekali. "Berdiri, Yoongi-ya!"

"Malas."

"Kau butuh makan untuk bertahan hidup."

"Sepertinya di kehidupan selanjutnya aku harus menjadi batu."

"Terserah. Ayo pergi saja." akhirnya Jin menyerah dan mengajak tiga dongsaengnya untuk pergi makan malam.

Sepeninggal mereka ruangan itu hanya terisi suara obrolan Jimin dan Jungkook. Sementara Yoongi hanya memperhatikan mereka dalam diam.

Sebenarnya bukan tanpa alasan Yoongi memilih untuk tinggal. Dia ingin memastikan pertanyaan yang selama ini ada di otaknya. Tapi melihat bagaimana Jimin dan Jungkook tertawa setelah melontarkan candaan kecil membuat Yoongi merasa sedikit ragu. Jika Yoongi menanyakannya sekarang, mereka pasti akan terganggu dan senyum itu akan segera hilang. Tapi jika tidak sekarang harus kapan lagi?

"Jimin-ah."

Si pemilik nama menoleh, diikuti Jungkook di sekon berikutnya. Sejenak Yoongi menimang-nimang harus mengatakannya atau tidak. Tapi ketika mengingat semua yang terjadi sebelumnya, Yoongi merasa memang harus menanyakannya.

"Aku mencari tahu sesuatu belakangan ini. Sebenarnya kau mengidap sebuah penyakit, kan?"

Bukan Jimin, justru Jungkook yang terkejut. Sementara Jimin hanya memandang Yoongi tanpa ekspresi. Ini berbeda sekali dengan reaksinya saat pertama kali Yoongi memergokinya berdarah-darah.

"Sudah kuduga kau akan melakukannya, hyung." Jimin bersuara, mengatakan apa yang dipikirkannya. Dia terlihat tidak gugup sekalipun, berbeda dengan Jungkook yang malah langsung panik.

"Sebenarnya aku memang mengidap penyakit. Leukimia, masih stadium awal. Tapi kurasa akan segera bertambah parah."

Yoongi tertegun. Bagaimana mungkin Jimin bisa mengatakan itu dengan begitu tenang? Bahkan Yoongi yang mendengarnya saja mendapati ketakutan menguak relung hatinya. Apa Jimin memang sengaja membiarkan penyakit itu menghancurkan tubuhnya?

"Kau sama sekali tidak menjalani perawatan apapun?" tanya Yoongi. Dia benar-benar tak habis pikir melihat bagaimana santainya Jimin di saat seperti ini.

"Untuk apa, hyung? Pada akhirnya aku akan mati. Lagi pula tidak ada yang peduli."

"Hyung, jangan mengatakan itu. Ada banyak orang yang peduli padamu. Jangan menyerah seperti itu." sambar Jungkook tak mau menerima ucapan Jimin barusan.

Jimin tersenyum tipis, tapi matanya menatap sendu ke objek yang ada di depannya. "Aku hanya lelah dibenci adikku sendiri." ucapnya lirih, tanpa tenaga.

"Tapi dia mungkin tidak membencimu, hyung. Kau sangat baik ta..."

"Tidak, Jungkook-ah. Dia membenciku. Dia membenciku karena aku lemah dan menyusahkannya." potong Jimin cepat.

Yoongi menghela nafas. Dia pikir Jimin tidak memiliki alasan untuk membunuh dirinya sendiri. Ternyata ini karena masalah adiknya. Yoongi sebenarnya memiliki seorang kakak, tapi kakaknya meninggal saat Yoongi masih bayi, jadi Yoongi tidak tahu rasanya memiliki kakak atau saudara.

"Adikmu tidak mungkin membencimu, Jimin-ssi."

Ketiganya langsung menoleh dan menemukan Jung Hyun di ambang pintu. Jungkook panik seketika, takut kakaknya marah karena dia keluar sembarangan. Tapi ternyata kakaknya tidak memarahinya sama sekali.

"Maaf, aku tidak bermaksud menguping. Jungkook tidak ada di ruangannya, jadi kupikir dia ada di sini." kata Jung Hyun sembari melirik adiknya yang gugup sendiri.

"Tapi, Jimin-ssi, aku memiliki nasehat untukmu. Aku dengar adikmu membencimu karena kau lemah dan menyusahkan. Aku pikir kau hanya salah paham. Aku juga memiliki adik yang lemah." Jungkook melotot mendengar ucapan kakaknya meskipun tidak ditanggapi sama sekali.

"Tapi aku tidak membencinya. Terkadang aku akan memarahi Jungkook dan menghukumnya, tapi aku sama sekali tidak merasa benci sama sekali. Aku hanya kesal karena dia terus terluka, aku mencemaskannya. Sebagai saudaranya, aku hanya tidak ingin Jungkook mengalami kesulitan. Terkadang aku lelah dan memilih untuk menutup mata karena rasanya itu lebih baik dari pada melihatnya menderita. Tapi percayalah bahwa jauh di dalam lubuk hatiku, aku sangat mencemaskannya. Aku terlalu peduli kepadanya, tapi takut kecewa karena pada akhirnya harus melihat dia terluka lagi. Kupikir adikmu hanya merasa seperti itu. Dia hanya terlalu menyayangimu."

Tidak hanya Jimin—yang menjadi orang yang diberi petuah—bahkan Yoongi dan Jungkook ikut tertegun mendengar kalimat panjangnya. Ini bahkan pertama kalinya bagi Jungkook mendengar perasaan kakaknya selama ini.

"Ah, hyung..."

Jung Hyun menoleh, memandang Jungkook yang tiba-tiba terisak. Bibirnya membentuk garis lengkung, mencetak senyum. Dia segera menghampiri adiknya dan memeluknya dengan erat. "Ya, kenapa kau menangis? Seharusnya tadi aku menambahkan bahwa aku tidak suka kau menangis." ucapnya sembari mengelus surai lembut adiknya.

"Mianhe. Aku selalu membuatmu cemas. Aku tidak akan melakukan itu lagi. Maafkan aku."

Jung Hyun mengangguk kemudian mengeratkan pelukannya, semakin membenamkan wajah sang adik ke dada bidangnya. Dalam hati berharap bahwa ini memang akhirnya.

Yoongi tersenyum melihat itu. Dia melirik Jimin yang juga sedang memandangi dua kakak beradik itu. Dia mendekat lalu menepuk pundak Jimin, membuat dongsaengnya itu langsung mendongak memandangnya. "Jimin-ah, kupikir dia benar. Jangan menyia-nyiakan hidupmu. Kau akan menyesal jika nanti menyadari bahwa adikmu sangat kehilangan sementara kau sudah benar-benar pergi." ucapnya

"Benarkah?"

"Tentu saja."

Dan pada akhirnya kisah ini bukan tentang diriku, melainkan orang-orang yang berarti bagiku.

Silence [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang