Bagian 32 : Persona

412 54 2
                                    

Apa manusia memang selalu hanya memikirkan kebahagiaannya? Apa manusia memang sulit melawan egonya? Tapi bukankah setiap manusia memiliki shadow yang selalu mengikutinya? Itu sebabnya mereka menutupi wajahnya dengan persona, kan?

Oh, maaf karena aku tiba-tiba membicarakan itu. Tadi Namjoon tiba-tiba menceritakan isi buku yang baru dibacanya kepadaku dengan terlalu bersemangat. Aku bahkan tidak bisa menolak saat dia memaksaku untuk mendengarkannya. Dan jadilah seperti ini sekarang, sepanjang jalan ke rumah aku masih memikirkannya.

Ego, Shadow, dan Persona. Aku masih tidak mengerti kenapa manusia memiliki ketiganya. Barangkali hidup manusia akan tenang tanpa gangguan. Tapi menurut Namjoon ketiganya justru penting bagi hidup seseorang.

Aku tidak mengerti. Sungguh. Tapi benar juga. Selama ini aku hampir tenggelam dalam shadowku sendiri. Tapi selama itu aku tidak pernah memunculkan persona. Atau tidak? Entahlah, aku tidak ingin berpikir. Sudah kubilang aku tidak mengerti dengan teori semacam ini.

Aku sedikit menoleh ketika melihat kerumunan orang di seberang jalan yang kulewati. Biar kutebak, kecelakaan lagi. Aku tidak mengerti kenapa mereka hanya berkerumun dan menonton tanpa ada niat untuk menolong. Kemana simpati dan empati mereka? Tidak ada? Mungkin saja. Karena aku yang melihat juga tidak merasakan apapun.

Dengan menghela nafas aku mempercepat langkahku. Rasanya tidak nyaman berada di antara sekian banyak orang. Aku ingin pergi saja dari dunia manusia. Mereka memuakkan. Oh, aku juga manusia. Dan itu artinya aku juga memuakkan. Yah, anggap saja begitu.

Masih ada banyak hal yang bercokol di otakku. Tapi aku memilih untuk melupakannya saat mataku melihat rumah tua di ujung jalan, rumahku. Aku semakin mempercepat langkah. Rasanya aku benar-benar ingin menyembunyikan diri di saat seperti ini.

Tanganku menggapai pegangan pintu. Menariknya untuk membuka papan kayu bernama pintu itu lalu melangkah maju untuk masuk. Tapi tiba-tiba tubuhku membeku saat melihat pemandangan tak biasa di dalam. Mataku membulat sempurna, terkejut.

Sementara di hadapanku berdiri sosok laki-laki jangkung yang langsung tersenyum ramah. Mungkin dia awalnya ingin membuka pintu dan keluar, aku tidak peduli. Tapi aku telah membukanya terlebih dahulu.

"Halo."

Ah, sial. Kenapa seperti ini lagi? Rasanya kepalaku akan meledak sebentar lagi. Tubuhku lemas dan pandanganku berkunang-kunang. Aku ingin sekali berbalik pergi atau setidaknya menutup mataku agar tidak menatapnya. Tapi sayangnya tidak bisa. Tubuhku seolah membeku dan tidak bisa digerakkan sama sekali.

"Yoongi-ssi, kau baik-baik saja? Kenapa menatapku seperti itu?"

Tidak. Aku tidak baik-baik saja dan ini karenamu. Jujur aku ingin meneriakkan itu di depan wajahnya. Tapi sekali lagi aku harus mengatakan bahwa aku tidak bisa melakukannya.

"Kau—ya!"

Tubuhku ambruk dan jatuh terduduk di hadapannya. Dia langsung berjongkok dan berniat untuk membantuku, tapi aku menepis tangannya. Lebih baik jangan menyentuhku. Itu akan lebih baik untukku.

Tapi jika seperti ini terus... Rasanya bernafas saja sulit untukku. Sesak sekali. Aku bisa berakhir lebih buruk jika  seperti ini terus. Apa yang harus aku lakukan saat diriku tak berdaya seperti ini?

"...Yoongi hyung!"

Belum sempat aku mencerna suara siapa itu, laki-laki lain berjongkok di hadapanku. Aku memandangnya. Dia terlihat panik melihat apa yang terjadi.

"Hyung, apa yang kau lakukan?" dia menoleh, bertanya dengan nada menuduh kepada laki-laki yang ada di sebelahnya.

"Aku tidak melakukan apapun, Jungkook-ah."

Silence [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang